"Tragedi Tanah Petani Sumatera Utara: 75 Hektar Dirampas Sepihak, Air Mata dan Darah di Tengah 'Pesta' Peringatan Hari Tani!"
Nyaur.com | Medan — Bumi pertiwi, yang mestinya menjadi ibu yang memeluk, kini terasa seperti medan perang yang merampas. Di balik hingar-bingar perayaan Hari Tani Nasional setiap 24 September, tersimpan jeritan pilu yang tak pernah benar-benar didengar. Ini bukan sekadar angka atau data di atas kertas; ini adalah kisah tentang para penjaga lumbung negeri, para petani di Sumatera Utara, yang hari-hari mereka diwarnai ancaman, ketakutan, dan aroma mesiu kekerasan. Bayangkan, saat kita asyik scroll media sosial atau menikmati kopi hangat, ada sebidang tanah, sumber kehidupan satu keluarga, yang tengah dicaplok paksa. Tanah itu bukan hanya gundukan lumpur dan air, tapi juga memori, keringat, dan masa depan anak-anak mereka. Inilah yang terjadi—sebuah ironi pahit saat para pahlawan pangan justru menjadi korban di tanah mereka sendiri.
Peringatan kelahiran Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 seharusnya menjadi janji keadilan. Namun, janji itu kini terasa seperti bualan manis yang hampa. Di hati nurani para petani, UUPA tak lebih dari dokumen tua yang berdebu, tak mampu menahan gempuran alat berat korporasi dan intimidasi seragam. Kisah di bawah ini akan membawa kita langsung ke jantung konflik, merasakan dinginnya ancaman, dan panasnya amarah para petani yang mempertahankan sejengkal demi sejengkal warisan leluhur. Siapkan hatimu, sebab yang kamu baca ini bukan fiksi, tapi realita berdarah yang terus terjadi di Tanah Deli.
Di balik sejuknya udara pegunungan di Kecamatan Siboalangit, Kabupaten Deli Serdang, tersembunyi sebuah drama perampasan yang menusuk. Warga Desa Rambung Baru dan Bingkawan kini hidup dalam ketidakpastian. Mereka adalah para petani yang turun-temurun menggarap lahan, yang nadinya terhubung langsung dengan tanah seluas 75 Hektar itu. Tiba-tiba saja, PT Nirvana Memorial Nusantara muncul layaknya raksasa yang lapar, mengklaim tanah tanpa permisi, tanpa alas hak yang jelas, dan tanpa proses administrasi yang sah.
Perusahaan mengakuisisi tanah masyarakat seluas 75 Hektar secara sepihak. Situasi di desa-desa tersebut mencekam. Suasana tegang menyelimuti setiap pagi. Para petani, dengan pakaian sederhana dan wajah yang terpahat oleh kerasnya hidup, berdiri tegak di batas-batas lahan mereka. Mereka bukan preman, melainkan para ayah dan ibu yang mempertahankan dapur. Namun, perjuangan mereka kerap dibalas dengan intimidasi dan kekerasan. Di tengah debu yang beterbangan dari mesin-mesin perusahaan, seringkali terdengar teriakan dan tangisan. Aparat keamanan negara dan pihak perusahaan seakan bersekutu, menciptakan atmosfer ketakutan yang mencekik. Petani yang mencoba menghalangi ekskavator atau menancapkan patok kembali, bisa saja dalam hitungan jam dihadapkan pada jerat hukum yang dibuat-buat, menjadi korban kriminalisasi hanya karena berani bersuara.
Kekerasan dan ancaman adalah soundtrack harian bagi kaum tani di Sumatera Utara. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara mencatat, sepanjang tahun 2025 saja, sudah terjadi setidaknya 22 kali letusan konflik agraria. Ini bukan sekadar bentrokan kecil; ini adalah serangan terhadap hak asasi manusia. Sedikitnya 55 petani harus menanggung luka fisik dan mental akibat kekerasan yang dilakukan, baik oleh oknum aparat keamanan maupun pengamanan perusahaan.
Angka ini dengan lantang berteriak bahwa prinsip keadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah, yang dijanjikan UUPA, hanyalah ilusi. Negara, yang seharusnya menjadi pelindung, justru terlihat lebih banyak berpihak kepada korporasi besar. Tanah, yang sejatinya adalah hak atas hidup, dirampas. Dan ketika mereka melawan, mereka bukan hanya kehilangan lahan, tapi juga menjadi korban kekerasan yang justru dilanggengkan oleh sistem. Ironi yang tak tertahankan: berjuang untuk hidup justru berujung di balik jeruji besi.
Pemerintah sering mengklaim sukses menjalankan program reforma agraria. Bahkan, ini dijadikan salah satu agenda prioritas. Namun, kenyataan di lapangan berkata sebaliknya. Program ini tak pernah menyentuh akar persoalan yang sesungguhnya. Alih-alih mengembalikan hak atas tanah kepada petani miskin, negara justru terlalu murah hati dalam memberikan izin konsesi skala besar kepada perusahaan. Inilah yang menjadi pupuk bagi suburnya ketimpangan penguasaan tanah.
Reforma agraria sejati seharusnya berfungsi sebagai jembatan untuk menutup jurang ketimpangan. Namun, yang terjadi adalah negara justru membangun tembok tinggi yang melindungi kepentingan korporasi. Kasus 75 hektar di Deli Serdang hanyalah satu dari sekian banyak bukti bahwa program yang digembar-gemborkan itu gagal total. Petani bukan hanya diabaikan, mereka bahkan dikorbankan demi growth dan investasi yang seringkali hanya dinikmati segelintir elite.
Seolah penderitaan akibat konflik agraria belum cukup, petani Sumatera Utara harus menanggung beban ganda: krisis iklim. Perubahan pola hujan yang ekstrem, ancaman kekeringan yang mematikan, banjir bandang yang merusak, hingga gagal panen yang menghancurkan modal, kini menjadi musuh tak kasat mata.
Celakanya, program adaptasi iklim yang diluncurkan pemerintah seringkali bukan solusi, melainkan masalah baru. Proyek food estate, skema perdagangan karbon, dan ekspansi energi skala besar seringkali diklaim sebagai jawaban iklim, namun pada praktiknya, proyek-proyek ini justru memicu konflik baru dan merusak lingkungan. Contoh paling nyata adalah dampak dari PT TPL yang dituding menyebabkan banjir bandang di Simalungun dan Humbang Hasundutan, menghancurkan lahan pertanian masyarakat.
Jadi, para petani kini harus berjuang di dua front: melawan perusahaan rakus dan menghadapi murka alam yang makin tak terduga. Sumber kehidupan mereka digerus dari dua sisi yang sama-sama brutal.
Peringatan Hari Tani Nasional 2025 ini harus menjadi momentum untuk membangunkan negara dari tidur panjangnya. Negara tidak boleh terus abai dan menutup mata terhadap penderitaan yang begitu nyata di depan mata, khususnya di Sumatera Utara.
KontraS Sumatera Utara mendesak:
1. Segera Selesaikan Konflik: Negara harus menyelesaikan konflik agraria di Sumatera Utara dengan mengembalikan tanah kepada petani dan masyarakat adat yang berhak. Jangan tunda lagi, keadilan harus ditegakkan hari ini.
2. Hentikan Kekerasan dan Kriminalisasi: Hentikan praktik kriminalisasi dan kekerasan terhadap petani. Setiap kasus kekerasan yang telah terjadi sepanjang konflik agraria di Sumut wajib diusut tuntas agar impunitas tidak lagi menjadi raja.
3. Laksanakan Reforma Agraria Sejati: Janji harus ditepati. Laksanakan program reforma agraria yang benar-benar berpihak pada kaum tani dan masyarakat adat, bukan pada korporasi.
Generasi muda, mari buka mata. Isu agraria adalah isu masa depan pangan kita. Jika petani terus diinjak, siapa yang akan memberi makan kita kelak? Jangan biarkan air mata dan darah para penjaga lumbung negeri menjadi sia-sia! Mari bersuara! Akankah kita biarkan kisah pilu ini terus berulang, ataukah kita memilih menjadi generasi yang menuntut perubahan nyata?
Post a Comment