Makan Bergizi Gratis: Niat Baik yang 'Membunuh' Dapur Pedagang Kecil di Lampung Barat?

Makan Bergizi Gratis: Niat Baik yang 'Membunuh' Dapur Pedagang Kecil di Lampung Barat?

Nyaur.com | Lampung Barat -
Jumat siang (17/10/2025). Udara Lampung Barat terasa biasa saja, tapi di teras rumahnya yang sekaligus jadi lapak jualan, suasana hati Putra (29) jauh dari kata 'adem'. Dua cangkir kopi hangat tersaji, menjadi saksi bisu curhat-nya hari itu. Sambil menyeruput kopi, pandangannya lurus—tapi kosong—menatap kendaraan yang lalu-lalang di depan rumahnya di Pekon Gunung Sugih.


"Pusing," desahnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Ini bukan pusing biasa. Ini pusing mikirin asap dapur yang terancam berhenti mengepul. Putra adalah pedagang ayam. Sejak program "Makan Bergizi Gratis" (MBG) mulai intens digulirkan, roda hidupnya terasa berputar jungkir balik. Program yang niatnya mulia untuk gizi anak bangsa itu, ironisnya, justru memukul telak penghasilannya. Ini adalah cerita yang jarang kamu dengar di berita utama.


Bayangin aja. Putra bercerita, biasanya, dia bisa dengan percaya diri mengambil 80 kilogram daging ayam dari penyuplai untuk dijual kembali. Ayam-ayam itu sudah pasti laku. Tapi sekarang? Dia hanya bisa mengambil jatah 45 kilogram. Pasokannya dipangkas hampir 50 persen.


"Penghasilan jadi ikut turun," katanya, terdengar pasrah. Kehilangan hampir setengah pasokan berarti kehilangan hampir setengah pendapatan.


Bagi yang belum tahu, lokasi tempat Putra tinggal di Pekon Gunung Sugih, Kecamatan Balik Bukit, adalah area yang "basah". Tempat ini bisa dibilang melting pot pelajar. Ada banyak sekolah mentereng di sekitarnya, mulai dari SMA Negeri 1 Liwa, MTs Negeri 1 Liwa, MAN 1 Liwa, sampai MI Negeri 2 Liwa.


Karena denyut nadi pelajar yang kuat, ekosistem Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di sini tumbuh subur. Lapak-lapak makanan, minuman, dan tentu saja, ayam geprek, menjamur di sekitar sekolah.


Dulu, jam pulang sekolah adalah "jam emas" bagi pedagang. Anak-anak berseragam bakal mampir, membeli jajanan, makan siang, atau sekadar nongkrong. Warung ayam geprek yang jadi langganan ayam potong Putra, selalu ramai diserbu siswa.


Tapi, vibes itu sekarang hilang. Lenyap. Sejak program MBG berjalan penuh di sekolah-sekolah, para pelajar tidak lagi punya alasan untuk jajan. Mereka sudah mendapatkan jatah makan gratis yang bergizi di sekolah. Niatnya sangat bagus untuk menekan stunting dan membantu orang tua. Tapi, efek dominonya ternyata brutal bagi pedagang kecil.


Putra tidak sendirian struggle. Dia juga mengisahkan nasib para pedagang ayam geprek di sekitarnya yang kini mengeluh omzetnya anjlok parah. Konsumen utama mereka, para siswa, kini tak lagi datang.


Yang lebih nyesek, ini bukan cuma soal omzet turun. Ini soal gulung tikar. Kantin-kantin sekolah, yang dulu jadi langganan tetap ayam potongnya, satu per satu mulai menutup pintu.


"Banyak juga kenalan saya yang jualan di kantin sekolah dan langganan sama saya, udah pada tutup karena MBG ini," terang Putra. Suaranya terdengar berat, menahan kekesalan yang tak tahu harus dilampiaskan ke mana. Anehnya, cerita pilu dari balik lapak-lapak kecil ini seolah tenggelam.


Kalau kamu scroll media sosial atau nonton berita nasional, isu terbesar soal MBG biasanya adalah soal lain. Publik (dan tentu saja para orang tua) lebih heboh dan khawatir soal berbagai peristiwa keracunan massal pelajar usai mengonsumsi MBG.


Masalah keracunan itu jelas sangat serius dan harus diusut tuntas. Tapi, di balik kehebohan itu, ada jeritan sunyi dari para UMKM yang terabaikan. Apa yang dialami Putra dan ribuan pedagang lain di kantin dan sekitar sekolah adalah krisis senyap. Kisah mereka seolah tak cukup clickbait untuk diangkat menjadi headline.


Makan Bergizi Gratis: Niat Baik yang 'Membunuh' Dapur Pedagang Kecil di Lampung Barat?

Tiga hari setelah Putra mencurahkan isi hatinya, suasana berbeda terasa di Aula Kagungan Setdakab Lampung Barat. Pada Senin, 20 Oktober 2025, para pejabat teras Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lampung Barat berkumpul.


Mereka menggelar agenda rutin Coffee Morning sekaligus Rapat Koordinasi (Rakor) bulanan. Kegiatan ini dipimpin langsung oleh Bupati Parosil Mabsus dan Wakil Bupati Mad Hasnurin. Para pejabat eselon, camat, hingga pimpinan BUMD hadir di sana.


Forum ini penting. Tujuannya adalah mengevaluasi kinerja dan menyusun strategi percepatan program kerja, terutama program strategis nasional. Salah satu fokus utamanya? Tentu saja, program Makan Bergizi Gratis (MBG).


"Tentu saya ingin mendengar secara langsung dari masing-masing ketua satuan tugas. Laporan dari Ketua Satgas MBG, sudah sejauh mana progres yang dilakukan," ungkap Bupati Parosil dalam arahannya.


Fokus rapat hari itu adalah progres, percepatan, dan perbaikan program. Ketua Satgas MBG, Ahmad Hikami, pun maju memberikan laporan. Nadanya terdengar positif. Ia menyampaikan bahwa program MBG di Lampung Barat terus menunjukkan perkembangan yang baik.


“Dari hasil koordinasi dua bulan terakhir, telah direncanakan pendirian 24 Sentra Penyediaan Pangan Gizi (SPPG) di seluruh kecamatan," ujar Ahmad Hikami. "Hingga saat ini, sudah ada tiga SPPG yang resmi beroperasi," imbuhnya, menyebut lokasi di Balik Bukit, Sekincau, dan BNS.


Rapat itu juga membahas laporan dari Satgas Koperasi Merah Putih (KMP). Ketua Satgasnya, Pirwan, melaporkan capaian digitalisasi koperasi. Sebanyak 120 dari 135 koperasi kini sudah bisa mengakses aplikasi Simkopdes.


Tapi, di sinilah letak ironi terbesarnya. Di antara semua paparan data yang impresif, progres pendirian SPPG, dan laporan digitalisasi koperasi, ada satu hal krusial yang missing.


Tidak ada satu pun kata, tidak ada satu pun agenda, yang menyinggung nasib Putra. Tidak ada pembahasan soal para pedagang kantin yang terpaksa tutup. Tidak ada solusi untuk UMKM ayam geprek yang kehilangan pelanggan.


Di ruang rapat yang sejuk dan penuh aroma kopi pagi itu, jeritan sunyi dari lapak-lapak kecil di Pekon Gunung Sugih sama sekali tak terdengar.


Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia adalah jawaban atas kebutuhan gizi anak-anak sekolah, sebuah program mulia yang pasti sangat membantu jutaan orang tua.


Tapi di sisi lain, program ini bak "surat PHK" tak tertulis bagi para pedagang kecil. Mereka yang selama ini menggantungkan hidup dari uang jajan pelajar, kini harus pusing tujuh keliling mencari cara bertahan hidup.


Niat baik saja tidak cukup jika eksekusinya di lapangan justru menciptakan korban ekonomi baru. Pertanyaannya, apakah program sebesar MBG ini tidak memikirkan skema pelibatan, atau setidaknya, solusi transisi bagi UMKM yang sudah ada?


Sambil menunggu rapat coffee morning Pemkab berikutnya, Putra di teras rumahnya mungkin masih akan terus memandangi jalan. Berharap ada keajaiban yang mengembalikan keramaian di lapaknya, sebelum cangkir kopi di depannya benar-benar mendingin.

Tidak ada komentar