Tamatnya Kisah Bakas: Harimau Sumatra 'Peneror' Warga Lampung Barat Itu Mati Tragis Akibat Stres Berat

Tamatnya Kisah Bakas: Harimau Sumatra 'Peneror' Warga Lampung Barat Itu Mati Tragis Akibat Stres Berat
Bakas saat di kandang perangkap yang dipasang di Pemangku Kali Pasir, Pekon Sukabumi, Kecamatan Batu Brak, Lampung Barat pada 29 Oktober 2025.


Nyaur.com | Bandar Lampung Tubuhnya kaku. Tak ada lagi auman marah. Tak ada lagi tatapan mata liar yang penuh teror. Yang tersisa hanyalah keheningan. Di atas tandu, sekitar 6 hingga 8 pria dewasa bergotong-royong mengusung tubuh berat itu. Tubuh sang raja hutan yang kini tak bernyawa, dipindahkan dari kandang perawatan menuju bak mobil pikap. Inilah akhir perjalanan Bakas, harimau sumatra jantan yang kisahnya adalah potret sempurna dari tragedi.

Namanya Bakas, sebuah identitas yang diberikan manusia: Nomor ID 13 RL Male. Tapi nama dan nomor itu kini resmi menjadi arsip duka. Jumat, 7 November 2025, Bakas menyerah. Ia tak lagi merasakan perih dari luka jerat mengerikan yang melingkar di pinggangnya, atau trauma dua jari kaki depan yang hilang. Ia mati. Sendirian, di dalam kandang besi yang seharusnya menjadi tempatnya dirawat, di Lembaga Konservasi (LK) Lembah Hijau, Lampung.

Kematian Akibat "Bunuh Diri"

Kabar duka ini dikonfirmasi secara resmi oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu pada 8 November. Kematian Bakas bukanlah karena penyakit. Kematiannya adalah cerminan horor absolut yang ia rasakan.

Ceritanya begini: Bakas baru saja dipindah dari Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Lampung ke LK Lembah Hijau. Alasannya? Kandang di PPS rusak dan dikhawatirkan bisa dijebol oleh Bakas yang sangat agresif. Ia dipindah agar mendapat perawatan lebih memadai.

Namun, proses pemindahan itu menjadi babak akhirnya. Sesaat setelah berhasil masuk ke kandang perawatan baru, Bakas panik. Ia mengamuk. Dalam ketakutan dan kebingungan total, ia menabrakkan dirinya berulang kali ke dinding dan pintu kandang. Satu kali. Dua kali. Pada benturan yang ketiga, tubuh gagah itu ambruk. Ia kejang-kejang, lalu diam selamanya.

Tim dokter hewan segera memeriksa. Hasilnya adalah gut punch. Bakas dinyatakan mati.

Hasil nekropsi (autopsi pada hewan) yang dilakukan oleh drh. Sugeng Dwi Hastono pada pukul 19.40 WIB malam itu, menyimpulkan penyebab kematian yang klinis namun tragis: pendarahan pada otak akibat benturan benda tumpul. Kematian otak. Sederhananya, Bakas mati karena respons stres akut yang tak tertanggungkan.

'Monster' yang Sebenarnya adalah Korban

Tapi tunggu dulu. Kenapa Bakas begitu "agresif"? Kenapa dia sampai harus ditangkap?

Tamatnya Kisah Bakas: Harimau Sumatra 'Peneror' Warga Lampung Barat Itu Mati Tragis Akibat Stres Berat
Bakas seusai dibius agar memudahkan proses evakuasi ke kandang angkut pasca tertangkap di kandang perangkap yang dipasang di Pemangku Kali Pasir, Pekon Sukabumi, Kecamatan Batu Brak pada 29 Oktober 2025.

Kita perlu memutar waktu kembali ke Pekon Sukabumi, Kecamatan Batu Brak, Lampung Barat. Sebelum menjadi "pasien", Bakas adalah "teror".

Bayangkan suasana di Pemangku Kali Pasir, sebuah dusun di mana 50-an KK petani kopi hidup. Sejak Juli lalu, desa itu hidup dalam ketakutan. Seorang petani kopi bernama Misri (63) ditemukan tewas mengenaskan, diduga kuat akibat serangan harimau.

Sapaat, seorang warga lokal, menceritakan atmosfer mencekam itu. Agenda Yasinan rutin yang biasanya digelar malam hari, terpaksa digeser jadi sore. Warga takut keluar rumah saat gelap. Saking takutnya, makam Misri sampai harus disemen, karena warga khawatir si 'belang' akan kembali dan menggalinya. Teror itu nyata.

Setelah berbulan-bulan, akhirnya Satgas Penanganan Konflik Satwa Liar memasang kandang jebak. Umpannya: seekor anjing hitam mungil. Pada 28 Oktober 2025, Bakas masuk perangkap.

Keesokan harinya, tim Satgas gabungan (TNI, Polri, BKSDA, dan warga) bahu-membahu mengevakuasinya. Sebuah proses dramatis menggotong harimau jantan seberat 150 kg lebih itu dengan tandu bambu.

"Kita berharap, ini adalah si pelaku," kata Letkol Infanteri Rizky Kurniawan, Dandim 0422/Lampung Barat, yang memimpin Satgas. Penangkapan ini adalah respons pemerintah atas keresahan warga.

Namun, di sinilah ceritanya menjadi semakin nyesek.

Saat ditangkap, Bakas bukanlah 'monster' pembunuh berdarah dingin. Dia adalah satwa yang sekarat. Dokter hewan BKSDA, Erni Suyanti, yang memeriksanya di lokasi, menemukan fakta menyedihkan.

Ada luka menganga bekas jerat yang melingkar di bagian pinggang kirinya. Jerat itu sudah terlepas, tapi lukanya masih baru. Lebih parah lagi, jari ke-4 dan ke-5 pada kaki kanan depannya hilang. Dia sudah lama menderita akibat jerat lain, jauh sebelum ia menerkam Misri.

Psikologi Satwa: Lari, Diam, atau Melawan

Bakas adalah korban sebelum ia menjadi pelaku.

Drh. Sugeng Dwi Hastono, dokter hewan profesional independen yang memeriksa jasad Bakas, memberikan kita clue emas. Meski terikat kode etik dan tidak bisa membuka hasil nekropsi lengkap ke publik, dia memberi sinyal kuat.

"Saya menduga jika Bakas dalam kondisi tidak sejahtera," ujarnya via pesan singkat, Minggu, 9 November kemarin.

Apa maksudnya? Drh. Sugeng menjelaskan psikologi dasar satwa liar. Saat terancam, stres, takut, atau tertekan, mereka punya 3 mekanisme:

 1. Flight (Lari): Menghindar dari sumber bahaya.

 2. Freeze (Diam): Mematung, berharap bahaya berlalu.

 3. Fight (Menyerang): Melawan sumber ancaman.

Sekarang, posisikan diri kita sebagai Bakas. Dia terluka parah oleh jerat manusia. Habitatnya (hutan) semakin sempit, berbatasan langsung dengan kebun kopi (hutan marga). Dia terdesak. Lalu dia ditangkap, dimasukkan ke kandang besi, dipindah-pindah, dikelilingi manusia.

Dia tidak bisa lari. Dia tidak bisa diam. Satu-satunya pilihan yang tersisa: Fight.

Perilaku "agresif" Bakas di kandang bukanlah amarah. Itu adalah teriakan putus asa dari satwa liar yang terluka parah, terkurung, dan tidak mengerti apa yang sedang terjadi padanya. Dia melawan kandang besi itu—satu-satunya "musuh" yang bisa dia serang—sampai otaknya pecah.

Tragedi yang Tak Kunjung Usai

Kematian Bakas adalah symptom, bukan penyakitnya. Penyakitnya adalah konflik ruang yang tak berkesudahan.

Seorang representatif dari forum HarimauKita menyebut, "Menjebak dan memindahkan harimau bukan solusi sebenarnya. Karena yang menang justru perambah hutan."

Tamatnya Kisah Bakas: Harimau Sumatra 'Peneror' Warga Lampung Barat Itu Mati Tragis Akibat Stres Berat
Proses pemindahan Bakas menuju kandang angkut dari tandu di Pemangku Kali Pasir, Pekon Sukabumi, Kecamatan Batu Brak, Lampung Barat pada 29 Oktober 2025


Warga seperti Sapaat hanya ingin aman berkebun. Dandim Rizky Kurniawan sudah mengingatkan, "Binatang ini tidak tahu ini adalah kawasan ataupun tempat warga. Naluri mereka hanya mencari makan." Warga terjebak di tengah.

Saat jurnalis mencoba menggali lebih dalam, ada tembok birokrasi. Seorang petugas BKSDA menolak wawancara, mengaku "trauma" dengan oknum wartawan yang menyalahgunakan video rilis. Drh. Sugeng pun harus mengarahkan pertanyaan kembali ke BKSDA.

Sikap hati-hati BKSDA Bengkulu-Lampung dalam merilis informasi tidak dapat dilepaskan dari sejarah kasus di wilayah kerja mereka yang melibatkan penyalahgunaan profesi jurnalisme oleh oknum di masa lalu. Namun, kehati-hatian ini sayangnya berujung pada penutupan informasi yang sangat dibutuhkan publik, terutama dalam kasus tragis Bakas.

Bakas kini hanya kadaver (bangkai) yang diamankan di PPS Lampung, menunggu untuk dikubur atau dikremasi. BKSDA berjanji akan melakukan perbaikan fasilitas dan aspek keamanan.

Tapi, evaluasi dan perbaikan itu tidak akan mengembalikan nyawa Bakas. Kisahnya adalah tragedi berlapis: teror yang dirasakan warga, penderitaan satwa akibat jerat keji, dan kegagalan sistem dalam menyelamatkan nyawa yang paling rentan.

Bakas, sang raja yang terluka, akhirnya menemukan "damai" dengan cara yang paling ironis. Dia tak lagi terancam oleh jerat atau kandang. Tapi kita, sekali lagi, kehilangan satu lagi penjaga hutan terakhir.

Tidak ada komentar