Ironi 'Golden Ticket' ke Malaysia dari Pemkab Lampung Barat

Ironi 'Golden Ticket' ke Malaysia dari Pemkab Lampung Barat
Para Calon Pekerja Migran Indonesia saat mengikuti Pelatihan Peningkatan Kapasitas Calon Pekerja Migran Indonesia oleh Bapeltan Lampung di Bandar Lampung pada Rabu, 5 November 2025.

Nyaur.com | Lampung Barat Bayangkan skenario ini: Kamu ditawari pekerjaan di luar negeri dengan gaji bersih di tangan sekitar 1.700 Ringgit Malaysia—setara Rp 7 juta per bulan. Paspor kamu diuruskan gratis. Kamu dapat pelatihan profesional gratis, lengkap dengan uang saku, makan, dan transportasi. Kontrak kerjanya jelas. Sampai di Malaysia, tempat tinggal sudah disediakan. Kamu hanya perlu bawa badan, mental baja, dan kemauan kerja.

Ini adalah program resmi yang dibuka oleh Dinas Tenaga Kerja dan Perindustrian Lampung Barat sejak 30 September 2025. Sebuah 'golden ticket' yang disodorkan langsung oleh pemerintah untuk mengubah nasib. Tapi, inilah ironi terbesarnya: dari 150 kuota yang dibuka lebar-lebar, yang mendaftar hanya segelintir. Tepatnya, 10 orang. Dan kini, hanya tersisa 7 orang yang bertahan melanjutkan proses.

Ya, kamu tidak salah baca. Tujuh orang. Bukan tujuh puluh, apalagi tujuh ratus. Di tengah riuh rendahnya jutaan fresh graduate dan pencari kerja di Indonesia yang berjuang setengah mati di job fair atau mengirim ratusan CV via email, di Lampung Barat, 143 kursi emas itu dibiarkan kosong, dingin, dan tak bertuan.

Tujuh orang ini adalah anomali. Mereka adalah wajah-wajah harapan yang memutuskan untuk "gas" mendaftar, sementara ratusan lainnya mungkin masih menimbang-nimbang, ragu, atau bahkan tidak tahu ada peluang ini.

Siapa mereka? Data Disnaker mencatat profil mereka sederhana: satu orang adalah lulusan SMP, dan enam lainnya tamatan SMA sederajat. Mereka adalah potret nyata masyarakat Lampung Barat yang berani mengambil langkah pertama, yang melihat peluang ketika yang lain mungkin masih sibuk scrolling TikTok.

Kini, ketujuh calon pahlawan devisa ini tidak sedang bersantai. Sejak 3 November lalu, suasana di Balai Pelatihan Pertanian (Bapeltan) Lampung di Bandar Lampung terasa berbeda. Mereka sedang "digembleng" dalam Pelatihan Peningkatan Kapasitas Calon Pekerja Migran Indonesia (PMI). Pelatihan ini diadakan serius oleh BP3MI (Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia) dan Bapeltan.

Ironi 'Golden Ticket' ke Malaysia dari Pemkab Lampung Barat
Lindawati, Fungsional Pengantar Kerja Ahli Muda Disnaker Perindustrian Lampung Barat saat diwawancarai di kantornya pada Rabu, 5 November 2025.

Lindawati, Fungsional Pengantar Kerja Ahli Muda Disnaker Perindustrian Lampung Barat, menjelaskan apa yang sedang mereka hadapi. "Pelatihan ini berlangsung selama enam belas hari," ujarnya. Tujuannya spesifik: menjadikan mereka pekerja kebun profesional dengan spesialisasi budidaya dan pemeliharaan tanaman kelapa sawit.

Mereka tidak hanya diajari cara memegang alat. Mereka dibekali pengetahuan, keterampilan, dan sikap profesional agar siap bersaing di dunia kerja internasional. Selama di karantina pelatihan, hidup mereka ditanggung penuh. Konsumsi, transportasi, hingga uang saku diberikan. Di akhir, sertifikat pelatihan menanti. Zero cost, full support.

Di sinilah letak cerita ini menjadi sebuah plot twist yang membingungkan. Pemerintah Kabupaten Lampung Barat jelas punya niat baik. Linda mengakui, program ini adalah salah satu senjata utama untuk mengurangi angka pengangguran.

Memang, data statistik menunjukkan ada perbaikan. Angka pengangguran di Lampung Barat pada tahun 2024 (sekitar 4.043 orang) berhasil turun tipis dibandingkan tahun 2023 (4.272 orang). Tapi, empat ribu orang yang masih menganggur tetaplah angka besar yang butuh solusi konkret. Program ke Malaysia ini adalah solusinya.

PT Zisra Dwi Jaya, sebagai perusahaan yang akan memberangkatkan, sudah siap menampung. Namun, realitas di lapangan menampar. "Kami menyayangkan sikap masyarakat Lampung Barat yang kurang responsif," keluh Linda.

Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?

Apakah gaji Rp 7 juta per bulan di Malaysia—dengan biaya hidup yang mungkin juga tinggi—dianggap tidak lagi "wah"? Apakah stigma bekerja sebagai "TKI" di kebun sawit masih begitu kuat mengakar, dianggap pekerjaan kasar yang tidak keren?

Atau, mungkinkah vibes "lebih baik hujan batu di negeri sendiri" atau "ngopi di rumah" jauh lebih menarik ketimbang mengadu nasib di negeri orang, meski kantong sedang kering? Ini adalah pertanyaan besar yang menggantung di udara Lampung Barat.

Tentu, bekerja di negeri orang selalu punya risiko. Kita sudah terlalu sering mendengar cerita pilu PMI yang terlantar. Tapi, pemerintah menegaskan ini adalah program resmi. Jaring pengaman (safety net) sudah disiapkan.

Jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan—misalnya PMI terpaksa harus dipulangkan—ada protokol yang jelas. BP3MI Lampung akan bekerja sama langsung dengan kantor kedutaan di Malaysia, BP2MI pusat, dan Pemkab Lampung Barat untuk mengawal proses validitas dan pemulangan.

Ironi 'Golden Ticket' ke Malaysia dari Pemkab Lampung Barat
Tujuh calon pekerja migran Indonesia asal Kabupaten Lampung Barat saat mengikuti Pelatihan Peningkatan Kapasitas Calon Pekerja Migran Indonesia (PMI) bersama calon PMI lainnya.

Saat ini, ketujuh orang itu belum tahu kapan tanggal pasti paspor mereka akan dicap tanda keberangkatan. Mereka masih fokus di balai pelatihan. Mempertajam skill, memupuk mimpi, dan mungkin juga, memantapkan hati.

Sementara 143 kursi lain dibiarkan kosong, ketujuh orang ini sedang bersiap menjemput takdir mereka di ladang sawit Malaysia. Mereka mungkin akan pulang beberapa tahun lagi membawa cerita sukses, membangun rumah impian, atau menyekolahkan adik-adik mereka hingga sarjana.

Kisah mereka adalah anomali di tengah era persaingan kerja yang brutal. Sebuah bukti bahwa terkadang, peluang emas itu ada di depan mata, tapi hanya sedikit yang punya nyali untuk mengambilnya.

Tidak ada komentar