AJI Kecam Kekerasan terhadap Jurnalis, Catat 60 Kasus dalam 8 Bulan

AJI Kecam Kekerasan terhadap Jurnalis, Catat 60 Kasus dalam 8 Bulan
Sumber foto: VOI, Kumparan, Liputan6, suara.com

Nyaur.com | Jakarta - Diselimuti asap gas air mata yang menusuk, Jakarta mencekam. Sejak 25 Agustus 2025, kota ini menjadi saksi bisu kemarahan rakyat yang tak terbendung, yang sayangnya, disambut dengan tangan besi. Di tengah kekacauan, ada sekelompok orang yang tak gentar, berdiri di garis depan dengan kamera dan pena. Mereka adalah para jurnalis, yang bertaruh nyawa demi menyuarakan kebenaran.

Namun, di medan pertempuran ini, mereka bukanlah sekadar pengamat. Mereka adalah korban.


Dalam suasana yang tegang, saat teriakan massa dan auman kendaraan taktis saling bersahutan, jurnalis Bayu Pratama S dari Antara dipukul saat meliput di gedung DPR RI. Pakaiannya kotor oleh debu dan keringat, tetapi yang lebih perih adalah kebebasan pers yang terinjak-injak.


Tak hanya di Senayan, ketakutan juga menjalar hingga Markas Komando Brimob di Kwitang. Di bawah remang lampu jalan, dua jurnalis foto dari Tempo dan Antara harus menghadapi pukulan dari orang tak dikenal. Sementara itu, seorang jurnalis dari Jurnas.com diintimidasi hanya karena merekam kekacauan yang terjadi.


Bukan hanya di Jakarta. Angin kekerasan ini berembus hingga ke Denpasar, Bali, ketika dua wartawan harus merasakan kekerasan dan intimidasi dari aparat saat meliput di Polda Bali dan DPRD.


Di Jambi, di tengah gelapnya malam pada Sabtu dini hari, delapan jurnalis terperangkap dalam kepungan massa. Mereka tak bisa berbuat banyak saat mobil dinas Pemimpin Redaksi Tribun Jambi dilalap api, menjadi korban dalam pertempuran yang bukan milik mereka.


Bahkan di Minggu dini hari, kegilaan itu tak berhenti. Jurnalis TV One ditangkap, dipukul, dan diintimidasi saat ia mencoba melakukan siaran langsung. Di saat yang sama, seorang jurnalis mahasiswa disiram air keras—cairan yang membakar kulitnya, sama seperti harapan akan kebebasan yang coba dibakar oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab.


Catatan kelam ini bukan hanya sekadar angka. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat, sejak awal tahun, sudah ada 60 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang sebagian besar pelakunya diduga berasal dari aparat militer dan kepolisian.


Namun bukan hanya kekerasan fisik. Ada upaya yang lebih halus, tapi sama mematikannya: pembungkaman. Media "diimbau" untuk menyajikan berita yang "sejuk" dan "damai"—narasi palsu yang berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan. Jurnalis dilarang melakukan live streaming, seolah kebenaran itu adalah barang haram yang tak boleh disiarkan.


AJI mengecam keras praktik kotor ini. Mereka mengingatkan, pekerjaan jurnalis dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Menghalangi jurnalis adalah melanggar hukum, dan lebih dari itu, melukai demokrasi.


Di tengah lautan hoaks dan disinformasi, jurnalis adalah benteng terakhir yang kita miliki. Mereka adalah saksi mata, penjaga fakta, yang menempatkan nyawa mereka demi memastikan kita tahu apa yang sebenarnya terjadi.


AJI mengirim pesan tegas: kebebasan pers bukanlah sesuatu yang bisa dinegosiasikan. Ini adalah syarat mutlak sebuah demokrasi.

Tidak ada komentar