Revolusi Senyap di Tengah Riuh: Ketika Aroma Bumbu Berpadu dengan Gelombang Digital di Pasar Liwa
Nyaur.com | Lampung Barat — Bayangkan ini. Bau tanah basah yang bercampur dengan aroma kunyit segar dan terasi bakar, suara lantang para pedagang menawarkan dagangan, dan tawa renyah ibu-ibu yang asyik beradu argumen demi harga terbaik. Itulah Pasar Liwa, Kabupaten Lampung Barat. Tempat denyut nadi ekonomi rakyat berdetak paling jujur, tak peduli terik atau hujan. Namun, di balik keramaian yang akrab dan sedikit chaos itu—di antara timbangan usang dan laci uang reyot—sebuah revolusi senyap baru saja dicanangkan. Sebuah gebrakan yang berani membawa pasar tradisional, yang selama ini identik dengan kearifan lokal dan sistem tunai, melompat jauh ke masa depan.
Pada Senin, 30 September 2025, suasana di Pasar Liwa agak berbeda dari biasanya. Bukan karena harga cabai yang tiba-tiba naik drastis, melainkan karena kehadiran jajaran pejabat pemerintah daerah, termasuk Sekretaris Daerah (Sekda) Lampung Barat, Nukman. Semua mata tertuju pada satu titik: Launching Digitalisasi Pasar Liwa. Ini bukan sekadar acara potong pita; ini adalah simbol bahwa pemerintah daerah tak lagi menutup mata pada nasib "si tua" yang terancam ketinggalan zaman. Ada rasa haru bercampur tegang di udara. Para pedagang, yang sebagian besar telah menghabiskan setengah hidup mereka dengan sistem manual, menyaksikan bagaimana gerbang menuju era baru terbuka perlahan.
Bagi siapa pun yang punya kenangan masa kecil digandeng ibu belanja ke pasar, pasar tradisional adalah lebih dari tempat transaksi. Ia adalah pusat interaksi, panggung budaya, dan penopang hidup ribuan keluarga kecil. Melihatnya berjuang untuk tetap relevan di tengah gempuran e-commerce dan supermarket ber-AC, jelas membangkitkan empati.
Syafaruddin, Kepala Dinas Koperasi, UMKM, dan Perdagangan Lampung Barat mengatakan, program ini, yang merupakan implementasi Proyek Perubahan dari Pelatihan Kepemimpinan Nasional (PKN) II yang diikutinya, membuktikan bahwa birokrasi tak selalu kaku. Ia tak hanya menunaikan tugas akademis; ia memiliki komitmen tulus untuk melakukan terobosan nyata di daerahnya.
Syafaruddin, mungkin, melihat lebih jauh dari sekadar tumpukan uang tunai di laci. Ia melihat potensi kebocoran retribusi, inefisiensi sistem administrasi, dan kerentanan pedagang terhadap dinamika pasar modern. Ia ingin subjek utama, yakni para pedagang dan UMKM lokal, merasa aman, nyaman, dan bangga berjualan di pasar yang bersih, modern, dan sehat.
Dalam acara launching yang dihadiri berbagai stakeholder, Sekda Nukman secara lugas memberikan apresiasi. "Digitalisasi ini adalah bentuk komitmen pemerintah untuk mewujudkan pengelolaan pasar yang lebih tertib, transparan, dan efisien," ujar Nukman. Komitmen ini diharapkan dapat menjadi contoh baik bagi pasar lain di Lampung Barat.
Dampak konkret dari digitalisasi ini terletak pada sistem pembayaran retribusi yang menjadi lebih praktis dan akuntabel.
Jika dulu para pedagang harus menanti petugas dengan karcis fisik dan uang tunai, yang rentan terhadap penyelewengan (kebocoran), kini mereka dapat melakukan transaksi pembayaran dengan lebih mudah dan transparan. Sistem baru ini berfungsi sebagai benteng terhadap praktik-praktik yang tidak efisien, sekaligus meningkatkan kepercayaan pedagang terhadap pengelola pasar. Tak hanya itu, digitalisasi ini juga diharapkan mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara signifikan, memberikan manfaat balik bagi pembangunan daerah.
Syafaruddin menjelaskan, "Kami ingin menghadirkan pasar yang lebih modern, bersih, dan mampu mendukung ekosistem perdagangan yang sehat." Digitalisasi bukan semata-mata soal teknologi, melainkan tentang meningkatkan kualitas hidup para pedagang, mengamankan rezeki mereka, dan memperkuat sektor UMKM sebagai tulang punggung ekonomi rakyat.
Generasi muda saat ini cenderung memilih kemudahan dan kecepatan. Mereka adalah subjek yang membutuhkan kemudahan transaksi dalam berbelanja. Digitalisasi di Pasar Liwa menjawab tantangan ini. Perubahan ini benar-benar terasa setelah implementasi berjalan mulus. Tantangannya adalah mengedukasi para pedagang yang sudah sepuh untuk beradaptasi dengan sistem nontunai. Namun, seperti yang Sekda Nukman katakan, pihak pemerintah daerah berkomitmen penuh terhadap suksesnya penerapan sistem digital ini.
Ini adalah lebih dari sekadar berita lokal. Ini adalah potret perjuangan sebuah daerah di pelosok negeri untuk menghadapi tantangan zaman, demi memperkuat pondasi ekonomi kerakyatan mereka. Di Pasar Liwa, aroma ikan asin dan bawang merah kini mulai berinteraksi dengan sinyal internet dan server data. Sebuah kisah tentang tradisi yang berani berkolaborasi dengan inovasi, demi masa depan yang lebih cerah dan tertib. Lampung Barat telah mengambil langkah berani. Apakah pasar-pasar lain di Indonesia siap mengikuti jejak mereka?
Post a Comment