Pemerintah Ancam Semua Tahanan Bisa Bebas, Aktivis: "Berhenti Mengada-ada!"
Nyaur.com | Jakarta — Bayangkan sebuah pagi di tanggal 2 Januari 2026. Di tengah hiruk pikuk kota yang baru saja menyambut tahun baru, sebuah skenario distopia perlahan menjadi nyata. Pintu-pintu sel tahanan di seluruh kantor polisi dan kejaksaan di Indonesia serentak terbuka. Ribuan orang yang tengah menunggu proses hukum—mulai dari pencuri kelas teri hingga tersangka kasus-kasus besar—melenggang bebas, bukan karena tak bersalah, melainkan karena sebuah kekosongan hukum yang disebut-sebut bisa melumpuhkan sistem peradilan. Gambaran mengerikan inilah yang coba dilukiskan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM RI dalam sebuah rapat kerja bersama Badan Legislasi DPR RI pada 18 September 2025 lalu. Sebuah bom waktu yang siap meledak jika Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru gagal disahkan sebelum KUHP baru resmi diberlakukan.
Namun, di tengah kepanikan yang sengaja diciptakan itu, sebuah suara lantang terdengar dari para penjaga nalar hukum. "Tunggu dulu, ini tidak masuk akal," seru Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP. Bagi mereka, pernyataan pemerintah itu bukanlah sebuah peringatan tulus, melainkan sebuah taktik usang yang menyesatkan. Sebuah narasi ketakutan yang sengaja diembuskan untuk satu tujuan: memaksa semua pihak menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP yang masih carut-marut, seolah-olah kita dipaksa memilih antara menelan racun sekarang atau menghadapi kiamat hukum nanti. Padahal, menurut koalisi, ada pilihan ketiga yang jauh lebih waras: jangan terburu-buru mengesahkan produk hukum yang cacat sejak dalam pikiran.
Mari kita bedah mengapa ancaman "penjara kosong" itu terdengar seperti dongeng horor yang tak berdasar. Koalisi Masyarakat Sipil menunjuk satu pasal sakti dalam KUHP Baru yang seolah sengaja dilupakan oleh pemerintah: Pasal 617. Pasal ini, sederhananya, adalah jaring pengaman. Ia secara tegas menyatakan bahwa aturan-aturan dalam KUHP lama tetap berlaku sebagai rujukan selama belum ada penggantinya di KUHP Baru. Ini termasuk pasal-pasal yang menjadi dasar bagi aparat untuk melakukan penahanan. Artinya, tidak ada istilah "kekosongan hukum". Sistem peradilan akan tetap berjalan, roda hukum akan tetap berputar, dan pintu sel akan tetap terkunci bagi mereka yang seharusnya berada di sana.
Lantas, mengapa pemerintah melontarkan pernyataan yang begitu dramatis? Koalisi melihat ini sebagai strategi "gaslighting" tingkat tinggi. Pemerintah seakan berkata, "Cepat sahkan draf RUU KUHAP versi kami, atau tanggung sendiri akibatnya!" Padahal, draf yang mereka sodorkan per 11 Juli 2025 itu justru dianggap sebagai sebuah kemunduran besar. Alih-alih memperbaiki, draf tersebut justru berpotensi melanggengkan praktik-praktik yang selama ini menjadi momok bagi pencari keadilan: kesewenang-wenangan aparat, ruang penyiksaan yang tak tersentuh, hingga praktik koruptif yang merajalela dalam proses penegakan hukum. Ini adalah sebuah ironi yang menyakitkan; kita didesak untuk menerima "obat" yang ternyata lebih beracun dari penyakitnya sendiri.
Kecurigaan ini bukan tanpa alasan. Publik masih ingat betul bagaimana pembahasan RUU KUHAP ini dipacu dalam kecepatan super kilat pada 9-10 Juli 2025. Bayangkan, 1.676 poin Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan 334 pasal dirampungkan hanya dalam waktu dua hari! Sebuah proses yang lebih mirip "Sistem Kebut Semalam" untuk ujian, bukan perumusan undang-undang yang akan menentukan nasib keadilan jutaan rakyat Indonesia. Suasana tegang dan tergesa-gesa itu seolah menjadi simbol betapa proses ini jauh dari kata ideal.
Lebih menyedihkan lagi adalah perlakuan terhadap partisipasi publik. Pemerintah dan DPR memang membuka keran masukan selebar-lebarnya. Forum-forum diskusi digelar, naskah-naskah akademik diterima. Namun, semua itu terasa seperti sebuah seremoni kosong, sebuah kamuflase demokrasi. Koalisi menyebutnya "partisipasi manipulatif". Aspirasi yang masuk seolah ditampung dalam sebuah kotak besar, namun pada akhirnya yang diambil hanya yang sesuai selera pembuat kebijakan (cherry picking), tanpa kriteria yang jelas. Masukan-masukan krusial dari masyarakat sipil, yang dirumuskan melalui riset mendalam dan pengalaman advokasi bertahun-tahun, lenyap begitu saja ditelan lubang hitam birokrasi, tanpa penjelasan mengapa ide tersebut ditolak atau bahkan tidak dipertimbangkan sama sekali.
Salah satu usulan paling fundamental yang terus diabaikan adalah mekanisme judicial scrutiny atau kontrol oleh pengadilan dalam proses penangkapan dan penahanan. Konsep ini adalah jantung dari sistem peradilan yang adil. Sederhananya, setiap tindakan aparat—mulai dari penangkapan di jalanan hingga penahanan di sel—harus diuji dan disetujui oleh hakim sebagai pihak yang netral. Ini adalah benteng terakhir bagi warga negara biasa untuk melawan potensi kesewenang-wenangan. Mekanisme ini dirancang untuk memastikan tidak ada lagi cerita orang salah tangkap, dipaksa mengaku di bawah tekanan, atau mengalami kekerasan di ruang interogasi yang gelap dan senyap.
Namun, dalam draf RUU KUHAP yang ada, benteng ini justru dibuat semakin rapuh. Tanpa judicial scrutiny yang kuat, kita hanya akan melanggengkan sebuah sistem yang aparatnya memiliki kuasa nyaris absolut di tahap awal penegakan hukum. Ini adalah sebuah resep bencana yang akan semakin menyengsarakan masyarakat. Ambisi untuk memberlakukan KUHP dan KUHAP secara serempak di awal 2026 memang terdengar gagah, tetapi jika harga yang harus dibayar adalah keadilan dan hak asasi manusia, maka ambisi itu harus segera dipertanyakan.
Atas dasar itulah, Koalisi Masyarakat Sipil tidak lagi sekadar meminta, tetapi menuntut. Mereka mendesak Pemerintah dan DPR untuk menghentikan narasi menyesatkan ini dan kembali ke meja perundingan dengan niat tulus untuk memperbaiki sistem. Rombak total draf yang bermasalah, dengarkan suara publik secara substantif, dan bangun kembali KUHAP yang benar-benar berpihak pada rakyat. Karena pada akhirnya, hukum acara pidana bukanlah sekadar teks di atas kertas, melainkan napas keadilan yang menentukan apakah seorang warga negara akan diperlakukan secara manusiawi atau justru menjadi korban dari kekuasaan yang tak terkendali.
Post a Comment