Tandu Bambu Masyarakat dan Raungan di Lampung Barat: Saat Harimau Sumatra Ditangkap, Siapa Sebenarnya yang Menang?

Tandu Bambu Masyarakat dan Raungan di Lampung Barat: Saat Harimau Sumatra Ditangkap, Siapa Sebenarnya yang Menang?
Proses pembiusan harimau sumatra

Nyaur.com | Lampung Barat
Rabu, 29 Oktober 2025. Udara pagi di Pemangku Kali Pasir, Pekon Sukabumi, Kecamatan Batu Brak, Lampung Barat, terasa lebih dingin dari biasanya. Sapaat (40-an) menggenggam erat goloknya. Tangannya cekatan membersihkan sebatang bambu, tapi hatinya jauh dari tenang. Bambu ini bukan untuk pagar kebun kopi. Hari ini, bambu itu akan menjadi tandu. Tandu untuk menggotong 'Raja Hutan' yang akhirnya takluk di kandang jebak.

Sejak Misri, seorang petani kopi berusia 60-an, ditemukan tewas mengenaskan pada 10 Juli lalu—diduga kuat akibat serangan harimau—desa ini berubah 180 derajat. Vibe-nya horor. Agenda yasinan rutin yang biasanya syahdu di malam hari, terpaksa digeser sore hari. "Semua orang ketakutan," bisik Sapaat. Bahkan, makam Misri yang sempat didatangi harimau pasca-pemakaman, harus buru-buru disemen. Warga khawatir, sang raja akan kembali dan 'menggali' korbannya.


Tandu Bambu Masyarakat dan Raungan di Lampung Barat: Saat Harimau Sumatra Ditangkap, Siapa Sebenarnya yang Menang?
Umpan untuk menangkap harimau sumatra 

Harimau jantan itu akhirnya masuk perangkap pada Selasa tengah malam, 28 Oktober 2025. Kandang jebak milik Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Lampung-Bengkulu itu sudah dipasang sejak 20 September. Umpannya: seekor anjing hitam mungil.

Proses evakuasi keesokan harinya berlangsung dramatis. Tim Satgas gabungan—terdiri dari petugas Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), BKSDA, TNI, Polri, dan Satpol-PP—saling bahu membahu dengan warga. Harimau itu harus dibius terlebih dahulu oleh dokter hewan, sebelum tubuh kekarnya yang berbobot lebih dari 150 kilogram itu diangkat menggunakan tandu bambu darurat yang disiapkan Sapaat dan warga lainnya.

"Syukur, kita berhasil menangkap satu ekor berkelamin jantan. Panjangnya kurang lebih 150 sentimeter," ujar Letkol Infanteri Rizky Kurniawan, Dandim 0422/Lampung Barat sekaligus Ketua Satgas Penanganan Konflik.

Letkol Rizky berharap, inilah harimau yang bertanggung jawab atas tewasnya Misri. Ia juga menegaskan satu hal penting: "Lokasi pemasangan kandang ini bukan di dalam kawasan hutan TNBBS, tapi di perkebunan milik masyarakat." Perkebunan kopi yang memang berbatasan langsung dengan 'rumah' sang harimau.

Bagi Sapaat, yang sudah tinggal di Kali Pasir sejak 2008, tertangkapnya satu harimau belum berarti teror usai. Sambil menyeruput kopi, ia menghela napas panjang. "Harimau di hutan ini tidak hanya seekor," gumamnya.

Sapaat tahu, harimau tak mengenal batas. Mereka tak peduli mana hutan lindung, mana hutan marga (kebun warga). Mereka bergerak berdasarkan insting, mencari makan di wilayah jelajah yang kini makin sempit. Harapan warga di 50-an KK yang mayoritas petani kopi itu sederhana: pemerintah memberi batas jelas, mungkin pagar, agar mereka bisa berkebun dengan aman.

Saat harimau itu diperiksa, kenyataan pahit lain terungkap. "Ada bekas luka jerat di bagian pinggang yang sudah terlepas, tapi lukanya masih ada. Ada juga bekas luka jerat di kaki," jelas Dokter hewan dari BKSDA, Erni Suyanti.

Luka-luka itu adalah bukti bisu. Jauh sebelum harimau ini menyerang manusia, ia sudah lebih dulu 'diserang' oleh manusia.


Tandu Bambu Masyarakat dan Raungan di Lampung Barat: Saat Harimau Sumatra Ditangkap, Siapa Sebenarnya yang Menang?
Proses evakuasi harimau sumatra menggunakan tandu

Di tengah kabar "keberhasilan" penangkapan ini, suara kritis muncul. Sugeng Dwi Hastono, representatif dari Forum HarimauKita, memberikan skakmat yang menohok. "Menjebak dan memindahkan harimau itu bukan solusi sebenarnya," tegas Sugeng. Kenapa? "Karena yang menang justru perambah hutan."

Sugeng mengurai akar masalahnya. Kesejahteraan satwa liar, katanya, punya empat domain fisik dan satu mental. Harimau butuh nutrisi (mangsa), lingkungan yang nyaman (hutan lebat untuk bersembunyi dan berburu), kesehatan, dan bisa berperilaku alami (mengendap-endap, memanjat).

"Domain mental harimau akan terganggu jika mendengar suara motor, suara alat berat, suara gergaji mesin," jelasnya. Jika rumah mereka tak lagi nyaman, wajar jika mereka stres dan keluar mencari tempat lain. Dan tempat lain itu adalah kebun kopi Sapaat dan warga lainnya.

Jika solusinya hanya terus-menerus menjebak, kata Sugeng, ini justru memberi "rasa nyaman" bagi para perambah untuk terus menggergaji hutan.

Masalahnya ternyata jauh lebih dalam dari sekadar konflik petani dan harimau. Ada desas-desus liar di masyarakat bahwa harimau ini sengaja dilepas untuk mengusir perambah hutan. Meski tak terbukti, kecurigaan ini muncul bukan tanpa alasan.

Faktanya, 'rumah' harimau di TNBBS memang sedang diobrak-abrik. Sugeng spill data yang lebih mengejutkan. Beberapa waktu lalu, ditemukan 121 sertifikat hak milik (SHM) dan Surat Pembayaran Pajak Bumi Bangunan (SPPT PBB) di dalam kawasan TNBBS! Hal ini pernah dipertanyakan oleh Dandim sebelumnya, Kolonel Inf. Rinto Wijaya.

"Ya seharusnya hal tersebut tidak boleh terjadi," kata Rinto kala itu. "Kok bisa?"

Aktivis dari GERMASI, Wahdi Syarif dan Ridwan Maulana, membenarkan temuan ini. Menurut mereka, ini pelanggaran berat. "Dasarnya jelas. Dalam UU Kehutanan dan UU PBB, hutan negara seperti Taman Nasional itu tidak boleh dijadikan objek pajak," gerutu Ridwan. Ini adalah aset negara, bukan milik pribadi.

Plot twist tidak berhenti di situ. Ancaman lain datang dari level yang lebih tinggi. Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dilaporkan tengah mengajukan modifikasi batas (boundary modification) warisan dunia Tropical Rainforest Heritage of Sumatra (TRHS) kepada UNESCO.

Area yang diusulkan untuk "dikeluarkan" dari status warisan dunia? Wilayah Suoh dan Sekincau, yang notabene masih bagian dari TNBBS.

Alasannya? Kawasan itu disebut "sudah tidak lagi memenuhi kriteria" sebagai hutan warisan dunia. Tapi, tujuan sebenarnya diduga kuat untuk membuka jalan bagi pemanfaatan sumber panas bumi (geothermal) berkapasitas 5 GW.

Dan tebak siapa yang bermain? Wilayah Suoh - Sekincau adalah area eksplorasi PT Star Energy Geothermal Suoh Sekincau (SEGSS), anak perusahaan dari PT Barito Renewables Energy Tbk. (BREN) milik taipan Prajogo Pangestu.


Tandu Bambu Masyarakat dan Raungan di Lampung Barat: Saat Harimau Sumatra Ditangkap, Siapa Sebenarnya yang Menang?
Saat harimau sumatra hendak dipindahkan ke kandang pengangkut

Siapa yang Kalah? Kini, harimau jantan dengan luka jerat itu akan diperiksa lebih lanjut. DNA dan pola lorengnya akan dianalisis untuk memastikan apakah ia "pelaku" yang menyerang Misri. Nasibnya ada tiga: dilepasliarkan kembali, direhabilitasi, atau menghabiskan sisa hidupnya di lembaga konservasi alias kandang selamanya.

Di Kali Pasir, Sapaat mungkin bisa tidur sedikit lebih nyenyak malam ini. Satu "peneror" telah dievakuasi.

Namun, pertanyaan besarnya tetap menggantung di udara. Harimau itu memangsa karena habitatnya dirusak. Habitatnya dirusak oleh perambah. Perambah merasa aman karena ada 'beking' sertifikat ilegal dan pajak bodong. Dan di atas itu semua, ada kepentingan korporasi raksasa yang mengincar energi di jantung rumah sang harimau.

Harimau itu kini di dalam kandang. Tapi 'raja' yang sesungguhnya—mereka yang merusak hutan—masih bebas berkeliaran.

Satu harimau jantan memang sudah di dalam tandu, dibius dan dievakuasi dari Pemangku Kali Pasir. Tapi pertanyaan nge-gas di benak kita semua: setelah ini, harimau itu mau diapain? Apakah dia akan 'dibui' seumur hidup di lembaga konservasi, atau bakal dilepasliarkan kembali ke alam?

Jawabannya, guys, masih abu-abu. Seperti yang dijelaskan Dokter hewan Erni Suyanti (BKSDA), nasib sang harimau menunggu hasil pemeriksaan detail. Pola loreng dan DNA-nya akan dianalisis non-stop. Tujuannya satu: memastikan apakah dia individu yang sama dengan 'peneror' di Kecamatan Bandar Negeri Suoh, Suoh, Sekincau, dan Batu Brak. Dari situlah nasibnya ditentukan: dilepas (rilis), rehabilitasi, atau—skenario terburuk—menghuni lembaga konservasi selamanya.

Bagi Sapaat dan warga Kali Pasir, evakuasi ini mungkin membawa helaan napas lega. Tapi bagi aktivis satwa, ini justru lonceng bahaya. Sugeng Dwi Hastono dari Forum HarimauKita kembali memberi skakmat yang menohok.

"Menjebak harimau itu bukan solusi," tegasnya. "Jika solusinya terus-terusan kandang jebak, ini akan muncul rasa nyaman bagi perambah hutan untuk terus masuk ke dalam."

Logikanya simple: harimaunya ditangkap, perambahnya pesta pora. Sugeng mendesak adanya kajian komprehensif. Kita tidak bisa hanya menyalahkan harimaunya. Kita harus menguliti akar masalah utamanya. Harimaunya harus tetap lestari di dalam hutan, dan manusia hidup di kawasan yang sudah ditentukan. Hutan, kata Sugeng, harus tetap jadi hutan. Bukan jadi kebun kopi apalagi tambang.

"Lama-kelamaan harimau akan habis dari hutan di Bukit Barisan kalau kebijakan 'demi ekonomi dan energi' dianggap lebih penting," sentilnya.

Masalah ini ternyata jauh lebih chaos dari yang kita bayangkan, dan sudah sampai ke telinga orang nomor satu di Lampung. Gubernur Rahmat Mirzani Djausal (Kyay Mirza) ikut 'gerah'.

Dalam wawancara pada 14 April 2025, Kyay Mirza menegaskan dengan suara lantang bahwa Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) tidak boleh diotak-atik.

"Ini adalah warisan dunia (UNESCO), kita semua punya tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikannya," ujar Gubernur.

Kyay Mirza mengakui, persoalan di TNBBS ini super kompleks. Ini bukan cuma soal harimau vs. manusia. Ini soal konflik agraria, soal pajak 'bodong' yang terbit di lahan konservasi (seperti yang dibahas di artikel sebelumnya), dan soal ribuan orang yang nekat tinggal di dalam kawasan terlarang.

Pemerintah saat ini sedang mendalami asal-usul para perambah ini. Ternyata, banyak dari mereka bukan orang Lampung. Mereka datang dari berbagai daerah seperti Jawa, Semendo (Sumatera Selatan), Banten, dan Bengkulu.

"Kalau warga Lampung asli yang sudah hidup turun-temurun di sana, mereka justru tahu bagaimana hidup berdampingan dengan gajah dan harimau tanpa saling mengganggu. Mereka menghormati alam," jelas Kyay Mirza.

Yang jadi biang kerok, lanjutnya, adalah alih fungsi lahan masif yang dilakukan oleh para pendatang ini. "Warga lokal sudah paham kawasan ini tidak boleh diganggu," tegasnya.

Omongan Gubernur bukan tanpa data. Pihak Balai Besar TNBBS membenarkan. Sebagian besar masyarakat yang kini ngotot tinggal di dalam kawasan TNBBS adalah perambah. Tipologinya beragam, ada yang dari Lampung Barat, ada juga yang dari luar daerah.

Beberapa dari mereka bahkan pede mengaku sudah membayar pajak dan menolak angkat kaki.

Fakta paling mengejutkan datang dari citra satelit. Balai Besar TNBBS mengungkap temuan gila: sekitar 21.000 hektare lahan di dalam kawasan TNBBS sudah terdampak aktivitas manusia.

Dari luasan itu, teridentifikasi ada sekitar 1.962 gubuk liar yang tersebar di 'jantung' rumah harimau tersebut. Pihak Balai Besar saat ini sedang berjibaku melakukan verifikasi lapangan untuk mengecek fisik gubuk-gubuk itu.

Kenapa bisa sebanyak itu? Balai Besar TNBBS jujur mengakui keterbatasan personel. Mereka tidak bisa mengawasi hutan seluas itu 24 jam penuh. Meski patroli rutin dengan TNI terus dilakukan, nyatanya 'kebobolan' ini sudah terlanjur parah.

Dan inilah fakta paling tragis: Pihak Balai Besar TNBBS menyatakan bahwa sebagian besar insiden konflik antara manusia dan harimau—termasuk kasus yang menewaskan Misri—terjadi di dalam kawasan taman nasional.

Ini membuktikan satu hal: Manusialah yang masuk terlalu jauh ke 'kamar tidur' sang harimau, bukan sebaliknya.


Tandu Bambu Masyarakat dan Raungan di Lampung Barat: Saat Harimau Sumatra Ditangkap, Siapa Sebenarnya yang Menang?
Harimau sumatra dipindah menuju tempat konservasi

Harimau di Kali Pasir itu kini mungkin sedang dalam perjalanan menuju nasib barunya. Tapi di luar sana, 21.000 hektare rumahnya sedang 'dirampok'. Seperti kata Sugeng, jangan sampai penangkapan ini hanya memberi "angin segar" bagi perambah untuk masuk lebih jauh lagi.

Pertanyaannya kini bergeser: Harimau itu yang salah, atau kita yang terlalu serakah?

Tidak ada komentar