Di Balik “Mati Suri”-nya Janji Transparansi DPR, Apakah Kita Hanya Jadi Penonton Legalitas Otoriter?
Nyiur.com | Jakarta — Udara di penghujung Agustus 2025 itu terasa membakar, bukan hanya karena terik matahari ibu kota, tetapi oleh amarah yang mendidih di dada ribuan anak muda. Gelombang protes mengguncang Indonesia, bukan lagi sekadar demonstrasi yang diakhiri pukul lima sore. Ini adalah simfoni kekecewaan yang membahana; deru klakson, teriakan lantang, dan tatapan mata nanar yang bercerita tentang luka lama yang menganga antara rakyat dan institusi yang seharusnya menjadi pilar harapan mereka: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Di tengah kepulan asap gas air mata dan gemuruh langkah kaki di jalanan, sebuah pertanyaan tajam mencuat: Apakah wakil rakyat benar-benar mendengar? Ironisnya, alih-alih berbenah total pasca badai protes, lembaga terhormat itu justru menampilkan ketidaksungguhan yang menyakitkan. Transparansi dan akuntabilitas, dua janji manis yang selalu terucap, kini terasa seperti fatamorgana. Sikap ini terlihat jelas dalam dinamika keterlibatan DPR pada Kemitraan Pemerintahan Terbuka (Open Government Partnership/OGP)—sebuah panggung global untuk menunjukkan komitmen pada keterbukaan, yang sayangnya, di mata masyarakat sipil, hanya dimainkan setengah hati.
Jumat, 25 September 2025, suasana di Kompleks Parlemen Senayan terasa kontras dengan ingatan akan jalanan yang baru saja membara. Di salah satu ruang diskusi, Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI menggelar acara peluncuran buku dan diskusi publik. Acaranya tampak akademis dan terstruktur: membahas rekomendasi dari Panitia Kerja Open Government Parliament (Panja OGP) dan Panja Organisasi Internasional.
Selama enam bulan, kedua Panja ini sudah bekerja, menyusun rekomendasi ambisius untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel.
Panja OGP secara khusus membedah tuntas apa yang diperlukan oleh negara dan parlemen:
1. Kepada Pemerintah, mereka mendesak urgensi instrumen hukum dan kelembagaan formal untuk OGP, penguatan rencana aksi, penguatan tata kelola digital, serta asistensi dan monitoring OGP di tingkat lokal.
2. Kepada DPR RI sendiri, Panja OGP merekomendasikan penguatan kelembagaan Parlemen Terbuka, peningkatan transparansi dan akses informasi, pengarusutamaan partisipasi publik bermakna, diplomasi parlemen yang proaktif, dan keberlanjutan Panja yang mengusung nilai-nilai OGP.
Di atas kertas, semua tampak sempurna. DPR, sebagai pemegang fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran, memiliki peran fundamental dalam menyukseskan Rencana Aksi Nasional Open Government Indonesia (RAN OGI). Komitmen global ini tidak akan berarti tanpa keterlibatan aktif parlemen.
Namun, di balik narasi kemajuan ini, Koalisi Masyarakat Sipil melihat adanya lubang gelap yang mengancam—potensi praktik legalisme otokratik (autocratic legalism).
Mengapa masyarakat sipil khawatir? Legalisme otokratik adalah hantu modern dalam demokrasi. Ia adalah siasat halus di mana hukum digunakan sebagai alat untuk melegitimasi tindakan-tindakan yang esensinya tidak demokratis. Dengan kata lain, kekuasaan dikonsolidasikan dan agenda politik tertentu dilanggengkan melalui produk-produk hukum yang lahir dari proses yang mungkin sah secara prosedur, namun mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi dan konstitusionalisme yang sejati.
Sikap dingin DPR terhadap keterbukaan adalah pupuk subur bagi praktik ini. Jika DPR tidak benar-benar terbuka, maka produk-produk hukum yang dihasilkan—yang merupakan instrumen terkuat negara—rentan menjadi tameng bagi kepentingan sempit alih-alih suara rakyat.
Masyarakat sipil lantas menyerukan: Partisipasi publik tidak boleh hanya sekadar basa-basi atau 'tokenisme'. Rakyat harus dilibatkan sebagai mitra kritis yang membangun, bukan hanya sebagai pemanis panggung.
Masalahnya, inisiatif Parlemen Terbuka atau Open Parliament Indonesia (OPI) bukan barang baru. Pada periode keanggotaan sebelumnya, DPR sudah pernah menginisiasi OPI. Tragisnya, inisiatif tersebut berakhir “mati suri”. OPI hanya mampu menyelesaikan dua Rencana Aksi yang terpisah dari pemerintah (2018-2020 dan 2020-2022).
Setelah terjadi pergantian keanggotaan DPR, inisiatif OPI praktis meredup dan ditinggalkan. Ruang-ruang diskusi yang pernah digagas seolah kembali menjadi sekat yang dingin dan tertutup. Ini menunjukkan bahwa komitmen internal DPR untuk menerapkan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik dalam kerja-kerja mereka adalah rapuh dan tidak berkelanjutan.
Upaya menghidupkan kembali OGP melalui Panja OGP saat ini memang patut diapresiasi, tetapi ia harus diikuti dengan komitmen mandiri yang kokoh, bukan hanya sekadar meramaikan forum. Keterlibatan ini harus memuat langkah-langkah konkrit dan ambisius untuk menghidupkan kembali inisiatif OPI.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kemitraan Pemerintahan Terbuka Indonesia menanggapi situasi ini dengan suara bulat dan tuntutan yang lugas—tuntutan yang harusnya didengar oleh generasi muda yang muak dengan janji tanpa aksi.
1. Aktifkan Kembali OPI dengan Ko-Kreasi Sejati: DPR perlu mengaktifkan kembali kelembagaan OPI dan melibatkan partisipasi masyarakat seluas-luasnya. Mekanisme harus dibangun secara ko-kreasi bersama kelompok sipil, disertai dukungan kelembagaan yang memadai agar OPI dapat bekerja optimal.
2. Pengawasan yang Komprehensif: DPR perlu kembali terlibat mengawasi kinerja pemerintah dalam RAN OGI, atau menyusun RAN OPI mandiri. Komitmen ini harus disusun partisipatif dan tidak hanya menyasar kegiatan rutin seperti TV Parlemen. Ia harus bersifat komprehensif dan menjunjung prinsip “meaningful public participation” (partisipasi publik bermakna).
3. Regulasi Partisipasi Publik Bermakna: DPR dan masyarakat sipil perlu menyusun peraturan internal/tata tertib yang memuat prinsip, indikator, dan petunjuk pelaksanaan untuk menerapkan “meaningful public participation”. Proses penyusunan ini harus transparan dan partisipatif.
4. Audit Transparansi Regulasi: DPR perlu melibatkan masyarakat sipil untuk melakukan audit terhadap platform pembentukan peraturan perundang-undangan. Keterbukaan akses data, hak masyarakat untuk didengar, dipertimbangkan, dan mendapat penjelasan atas setiap masukan harus menjadi kunci.
Jelas, bagi masyarakat sipil dan generasi muda, keterlibatan DPR dalam OGP bukan hanya tentang citra di mata dunia, melainkan tentang otentisitas dan keadilan. Setelah gelombang protes Agustus yang memilukan, kini saatnya DPR membuktikan: apakah mereka akan tetap menjadi istana kaca yang tertutup, atau benar-benar menjadi rumah rakyat yang terbuka, akuntabel, dan berani melawan bayang-bayang legalisme otokratik? Masa depan demokrasi yang transparan dipertaruhkan, dan rakyat menanti jawaban yang lebih dari sekadar peluncuran buku.
Post a Comment