Racun Emas Sangihe: Laut 'Segitiga Karang' Terancam Timbal dan Merkuri, Masa Depan Nelayan & Kesehatan Anak Tergadai!
Nyaur.com | Manado — Pernahkah kamu membayangkan sebuah tempat yang saking indahnya, ia dijuluki "Jantung Segitiga Terumbu Karang Dunia"? Tempat itu ada, namanya Kepulauan Sangihe, di ujung utara Sulawesi Utara. Bayangkan, perairan di sana adalah rumah bagi keanekaragaman hayati laut terkaya di planet ini—benar-benar harta karun dunia!
Namun, cerita indah itu kini berubah mencekam. Bukan karena bencana alam, melainkan ambisi manusia. Sebuah laporan terbaru dari Politeknik Negeri Nusa Utara (Polnustar) dan Greenpeace Indonesia mengungkap fakta yang membuat tenggorokan tercekat: perairan Sangihe perlahan-lahan diracuni. Bukan lagi isu "masa depan", tapi masalah sekarang. Data menunjukkan peningkatan kadar logam berat yang signifikan di laut dan—ini yang paling mengerikan—di dalam ikan yang menjadi sumber pangan utama masyarakat. Ini bukan hoax atau teori konspirasi; ini adalah kenyataan pahit yang mengancam ekosistem, sumber protein, dan yang paling krusial, kesehatan anak-anak Sangihe.
Sangihe telah ditetapkan sebagai Area Penting Secara Ekologis dan Biologis (EBSAs). Status ini seharusnya menjadi tameng pelindung, tetapi kenyataannya, perlindungan itu kini terkikis oleh guratan-guratan pertambangan emas. Ini adalah sudut pandang yang jarang dilirik: di balik gemerlap janji kekayaan tambang, ada erosi masif yang menggerus keindahan dan kesehatan laut.
Laporan tersebut mencatat bahwa dalam kurun waktu 2015 hingga 2021 saja, terjadi lonjakan luas lahan tambang emas hingga 45,53%. Bayangkan, hampir separuh peningkatan area yang dibuka itu tak hanya merusak daratan. Kontur perbukitan Sangihe yang terjal mempercepat bencana. Setiap hujan, material berbahaya dari lokasi tambang itu meluncur deras (runoff) ke laut. Cepat, masif, dan membawa 'kematian' instan bagi ekosistem pesisir.
Tim peneliti melakukan uji laboratorium dan hasilnya benar-benar mencengangkan. Di perairan Teluk Binebas, konsentrasi logam berat ditemukan sudah melampaui batas aman. Kadar Arsen (As) di permukaan air laut mencapai 0,0228 mg/L melampaui standar baku mutu (0,012 mg/L). Bahkan, Timbal (Pb) pun ikut melonjak hingga 0,0126 mg/L, jauh di atas standar 0,008 mg/L. Data ini bertolak belakang dengan dokumen resmi, menandakan adanya pencemaran baru yang sangat serius.
Apa (What) dampaknya? Kerusakan dan kematian vegetasi mangrove, serta fenomena pemutihan terumbu karang (coral bleaching) yang mengubur harapan regenerasi laut. Kita bicara tentang hilangnya rumah bagi ikan-ikan kecil dan peredam ombak alami pulau.
Namun, dampak terburuk tidak berhenti di kerusakan ekosistem. Logam berat ini punya cara licik: ia masuk ke dalam rantai makanan. Sampel ikan layang, yang merupakan soul food dan protein utama masyarakat, ditemukan terkontaminasi merkuri/raksa (Hg), arsen, dan timbal. Ini adalah pukulan telak. Merkuri, khususnya senyawa turunannya yang disebut metilmerkuri, adalah neurotoksin—racun yang menyerang sistem saraf.
Metilmerkuri dapat menembus plasenta dan jaringan darah-otak. Artinya, ia sangat berbahaya bagi janin dan anak-anak yang masih dalam masa perkembangan otak. Analisis risiko menunjukkan fakta yang menghancurkan: Paparan merkuri harian pada balita dapat melebihi batas aman hingga empat kali lipat berdasarkan tingkat konsumsi ikan lokal.
Coba bayangkan, generasi muda Sangihe tumbuh dengan risiko kesehatan jangka panjang, hanya karena aktivitas tambang yang mengejar keuntungan sesaat. Profesor Frans G. Ijong dari Polnustar menegaskan, ini adalah "kerusakan nyata dan terukur."
Ancaman ini tak hanya menyerang kesehatan, tetapi juga ekonomi masyarakat lokal. Selama ini, para nelayan Sangihe sudah berjuang melawan badai: cuaca ekstrem, persaingan dengan nelayan industri. Kini, ditambah lagi dengan kerusakan ekosistem akibat tambang.
Kapan dampak ini terasa? Setelah aktivitas tambang marak.
Laporan menunjukkan volume tangkapan ikan (seperti cakalang, bobara, baronang) anjlok hingga 69,04%. Imbasnya? Pendapatan nelayan rata-rata jatuh 27,3%. Laut yang seharusnya menjadi lumbung kehidupan, kini pelan-pelan menjadi gurun air.
Ironisnya, janji manis kesejahteraan bagi para pekerja tambang pun tak terwujud. Banyak dari mereka bekerja tanpa kontrak dan perlindungan hukum, terjebak dalam sistem bagi hasil yang tidak adil. Mereka tak mendapat kekayaan, melainkan utang yang terus menumpuk.
Siapa yang bertanggung jawab? Tentu saja pemerintah, yang punya kewenangan untuk bertindak tegas. Aktivis Greenpeace, Afdillah, menyebut temuan ini sebagai "alarm keras" yang menuntut respons serius.
Di mana masalah ini terjadi? Di Pulau Sangihe, sebuah pulau kecil yang secara tegas dilarang untuk aktivitas tambang berdasarkan UU No. 1 Tahun 2014.
Bagaimana cara menyelamatkannya? Polnustar dan Greenpeace mendesak langkah konkret:
* Stop Total: Hentikan seluruh aktivitas pertambangan yang bertentangan dengan prinsip ekonomi biru dan ekonomi hijau.
* Moratorium Izin: Tetapkan jeda penerbitan izin pertambangan baru, mengingat status Sangihe sebagai pulau kecil.
* Rehabilitasi: Segera pulihkan mangrove dan terumbu karang yang sudah rusak.
* Skrining Kesehatan: Lakukan pemeriksaan kesehatan menyeluruh, terutama untuk anak-anak, di sekitar wilayah tambang.
* Kawasan Lindung: Tetapkan Kepulauan Sangihe sebagai kawasan pelindungan darat dan laut permanen.
Profesor Ijong menutupnya dengan kalimat yang menghujam: "Pilihan saat ini adalah bertindak tegas untuk menghentikan perusakan atau membiarkan Sangihe kehilangan masa depan demi kepentingan segelintir pihak." Ini adalah battle yang harus dimenangkan, demi laut, demi nelayan, dan demi kesehatan anak-anak yang berhak tumbuh sehat di tanah kelahiran mereka. Sangihe adalah warisan, bukan komoditas. Kita sebagai generasi yang peduli, harus ikut menyuarakan agar 'racun emas' ini segera dihentikan.
Post a Comment