Perkapolri Baru Bikin Hak Sipil Terancam

Perkapolri Baru Bikin Hak Sipil Terancam

Nyaur.com | Jakarta —
Jantung kota berdetak cepat. Bukan karena deadline atau gigs seru, tapi karena amarah yang memuncak dan rasa ketidakadilan yang terasa nyata, menusuk hingga ke tulang sumsum. Kalian ingat tragedi Affan Kurniawan? Sebuah nama yang mendadak menjadi simbol pahit kegagalan: seorang pemuda dilindas mobil rantis polisi di akhir Agustus 2025. Situasi pasca-kejadian itu laksana bara dalam sekam—panas, membara, dan setiap sentuhan memicu ledakan. Kantor-kantor polisi di berbagai daerah menjadi sasaran kemarahan publik. Sebuah reaksi spontan, mungkin, tapi jauh di lubuk hati, itu adalah suara frustrasi kolektif yang sudah lama terpendam.


Namun, alih-alih merangkul reformasi yang selama ini digembar-gemborkan, institusi kepolisian justru mengambil langkah yang bikin dahi mengernyit dan hati bergidik. Hanya berselang sebulan, tepatnya pada 29 September 2025, Kapolri menerbitkan sebuah peraturan yang kontroversial: Perkapolri Nomor 4 Tahun 2025 tentang Penindakan Aksi Penyerangan terhadap Kepolisian RI. Peraturan ini, menurut kacamata kritis organisasi bantuan hukum seperti YLBHI, bukan solusi, melainkan red flag tebal yang menunjukkan satu hal: reformasi di tubuh Polri bukan hanya jalan di tempat, tapi terancam mundur ke belakang. Ini bukan cuma soal hukum, guys. Ini soal nyawa, kebebasan, dan masa depan demokrasi yang sedang kita perjuangkan.


Kita harus breakdown ini. YLBHI, sebagai pihak yang terus mengawal isu hak asasi manusia dan reformasi institusi penegak hukum, langsung mendesak pencabutan Perkapolri 4/2025. Mereka melihat ini sebagai upaya ilegal kepolisian untuk menciptakan payung hukum bagi kepentingan eksklusif mereka sendiri, dengan cara yang menabrak prinsip negara hukum dan demokrasi yang kita anut.


1. Overstepping Kewenangan: Aturan Administrasi, Rasa Undang-Undang

Apa masalah utamanya? Perkapolri adalah peraturan internal, alias hanya untuk urusan administrasi internal kepolisian (Pasal 15 ayat (1e) UU Kepolisian). Tapi, Perkapolri 4/2025 ini justru mengatur hal-hal fundamental yang seharusnya diatur oleh Undang-Undang—kewenangan DPR dan Pemerintah—bukan Kepolisian sendirian.

Bayangkan, dalam selembar kertas internal, tiba-tiba muncul legitimasi penambahan kewenangan upaya paksa yang berpotensi membatasi Hak Asasi Manusia (HAM). Mulai dari penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan tanpa izin pengadilan, hingga yang paling mengerikan: justifikasi penggunaan senjata api (peluru karet atau tajam). Stop! Penggunaan peluru tajam? Ini adalah risiko langsung yang mengancam hak atas hidup sebagai hak asasi paling mendasar!


2. Bertentangan dengan Hukum Basic dan Blind Spot Akuntabilitas

YLBHI menyoroti bahwa Perkapolri ini tidak hanya nyeleneh, tapi juga bertentangan dengan aturan fundamental seperti UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Parahnya lagi, ia menciptakan istilah-istilah baru seperti "Tindakan Kepolisian" atau "Aksi Penyerangan" yang tidak jelas parameter dan akuntabilitasnya. Ini seperti memberi cek kosong. Dengan parameter yang kabur, akan ada potensi penafsiran subjektif dan penyalahgunaan kewenangan yang ekstrem. Kekuatan berlebihan (excessive force) oleh aparat akan semakin mudah dibenarkan, padahal penggunaan senjata api seharusnya menjadi pilihan paling akhir dalam situasi yang sangat berbahaya.


3. Ironi Super Kontradiktif: Menggampangkan Penggunaan Peluru

Poin ini benar-benar bikin kita bertanya: seriusan reformasi itu gimmick? Perkapolri 4/2025 ini bahkan bertentangan dengan Perkapolri lain yang sudah ada, seperti Perkapolri No. 1 Tahun 2009 dan Perkapolri No. 8 Tahun 2009. Aturan lama menegaskan bahwa penggunaan senjata api harus sangat hati-hati, sebagai upaya terakhir, dan mengedepankan prinsip legalitas, nesesitas, proporsionalitas, serta kewajaran.

Namun, dengan Perkapolri baru ini, penggunaan kekuatan senjata api, bahkan peluru tajam, justru dipermudah. Ini adalah kemunduran dramatis dari standar HAM internasional dan menunjukkan bahwa komitmen pada reformasi di level kebijakan internal masih minim, bahkan nihil.


Kenapa isu ini harus membuat kita melek dan bereaksi? Karena ketiadaan mekanisme pengawasan dan akuntabilitas yang jelas dalam penggunaan upaya paksa dan senjata api dalam Perkapolri ini adalah justifikasi sempurna untuk impunitas.


Ini artinya, potensi kekerasan dan brutalitas aparat serta pelanggaran HAM, termasuk extra judicial killing (pembunuhan di luar proses hukum), akan semakin tinggi. YLBHI mencatat bahwa, selama periode 2019–2024, mereka mendata sekitar 35 peristiwa penembakan aparat dengan total 94 korban tewas. Angka ini bukan sekadar statistik, guys. Ini adalah daftar nyawa yang hilang, yang seharusnya dilindungi oleh negara, tapi justru dihilangkan oleh penegak hukumnya.


Perkapolri 4/2025 adalah lonceng alarm. Ketika institusi penegak hukum membuat aturan yang melegitimasi penggunaan kekuatan berlebihan secara sepihak, apalagi setelah janji manis reformasi dibentuknya tim transformasi reformasi kepolisian pada 17 September 2025—hanya beberapa hari sebelum Perkapolri ini terbit—itu menunjukkan ketidakseriusan dan pengkhianatan terhadap kepercayaan publik.


Sebagai generasi yang akan mewarisi negara ini, kita tidak bisa diam. Kita harus melihat peraturan ini dari sudut pandang korban, dari sisi Affan Kurniawan dan 94 korban tewas lainnya. Kita harus menyuarakan bahwa hukum tidak boleh menjadi alat untuk melegitimasi kekuasaan eksklusif dan HAM harus diletakkan di atas segalanya. Peraturan internal tidak boleh lebih kuat dari konstitusi dan rasa keadilan. Mendesak pencabutan Perkapolri ini bukan sekadar isu hukum, tapi perjuangan untuk menjaga agar negara kita tetap berlandaskan akal sehat, keadilan, dan kemanusiaan. 

Tidak ada komentar