49 Nyawa Melayang Ditelan Lubang Tambang

49 Nyawa Melayang Ditelan Lubang Tambang

Nyaur.com | Samarinda —
Suasana hening yang mencekam tiba-tiba pecah oleh suara tangis pilu. Bukan karena bencana alam, tapi karena lagi-lagi, air tenang di lubang bekas galian tambang telah merenggut nyawa. Ini bukan adegan di film fiksi ilmiah distopia. Ini adalah realitas pahit yang terjadi di Kalimantan Timur (Kaltim). Puluhan, bahkan hampir 50 korban jiwa—sebagian besar anak-anak—telah tewas tenggelam dalam kubangan 'danau buatan' yang ditinggalkan perusahaan tambang. Sementara kita, sibuk dengan scrolling media sosial dan isu green economy, di sana, kehidupan seakan tak berharga di mata oligarki batubara.


Pada 18 September 2025, Pemerintah Pusat melalui Kementerian ESDM sempat bikin geger dengan mengumumkan penghentian sementara 36 dari 190 perusahaan tambang batubara di Kaltim. Terdengar heroik, bukan? Seolah-olah negara sedang pasang badan dan bilang, "Cukup!" Tapi bagi mereka yang sudah lama berjuang di garis depan, seperti Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur, langkah ini hanyalah drama birokrasi yang basi. Mereka menyebutnya sebagai 'ritual administratif' yang tak pernah menyentuh akar masalah: penderitaan rakyat dan kerusakan ekologis yang masif.


Mengapa JATAM Kaltim begitu skeptis? Karena, Guys, ini bukan kali pertama. Sejak lama, sanksi dalam dunia tambang diibaratkan hanya sebagai 'pintu tawar-menawar' antara pemerintah dan korporasi. Pengumuman penghentian sementara itu seolah mengirim pesan bahwa pemerintah tegas, padahal, di lapangan, mayoritas perusahaan di Kaltim beroperasi dengan satu formula: ekspor batubara, raup untung triliunan, lalu tinggalkan lubang menganga yang mematikan.


Kita tahu, bisnis ini menghasilkan royalti dan pajak yang besar bagi kas negara—sebuah cuan yang seringkali dijadikan alasan pembenaran untuk menutup mata terhadap pelanggaran.


Contoh paling telanjang adalah Kasus CV Arjuna, yang menurut JATAM, adalah bukti nyata praktik tambang penyimpangan yang melibatkan setoran Jaminan Reklamasi (Jamrek) tidak jelas dan bahkan potensi keterlibatan pejabat dalam jaringan rente alias korupsi. CV Arjuna mungkin hanya puncak gunung es. Di bawahnya, bisa jadi ada puluhan atau ratusan perusahaan lain yang bermain dalam lingkaran setan yang sama: setoran, pembiaran, dan kolusi. Ini adalah potensi 'Upeti' yang patut kita curigai!


Sejak tahun 2011 hingga 2025, JATAM Kaltim mencatat ada 32 perusahaan yang tidak bertanggung jawab atas lubang bekas galian mereka. Imbasnya? 49 nyawa melayang ditelan air kotor itu. Mereka adalah anak-anak, korban kelalaian yang tak termaafkan.


Kita berbicara tentang Pasal 21 PP 78/2010 yang mewajibkan reklamasi dilakukan paling lambat 30 hari setelah aktivitas tambang berhenti. Namun, fakta di lapangan? Lubang-lubang maut itu masih menganga hingga kini.


Hukum seolah tak berdaya. Ambil contoh kasus yang menewaskan almarhum Ardi pada tahun 2015. Kasus ini adalah satu-satunya yang diproses hukum, namun vonisnya sangat rendah: 2 bulan kurungan dan denda seribu rupiah. Bayangkan! Nyawa manusia dinilai serendah itu. Bagi JATAM Kaltim, ini jelas melanggar Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang mengakibatkan kematian. Perusahaan-perusahaan ini seharusnya diproses secara pidana, bukan hanya didenda administratif!


Penghentian sementara yang hanya berfokus pada urusan penempatan dana Jamrek (Jaminan Reklamasi) seolah menjadi akal-bulus mencari cuan di mata JATAM. Karena sanksi ini berlaku paling lama 60 hari. Jika lebih dari itu perusahaan tak juga setor Jamrek, izin harusnya dicabut (Pasal 53 Permen ESDM 26/2018). Tapi yang sering terjadi adalah, perusahaan lobi, bayar denda, lalu kembali beroperasi tanpa menyentuh esensi pemulihan lingkungan.


JATAM Kaltim punya catatan kritik pedas dan tuntutan tegas yang relevan bagi kita yang mendambakan keadilan:

 * Reklamasi, Restorasi, dan Clean Up Total, Bukan Sekadar Administratif: Perusahaan wajib menutup lubang dengan standar teknis yang menjamin keselamatan, memulihkan sumber air, dan tidak menggunakan tanaman monokultur yang merusak ekosistem asli.

 * Transparansi dan Akuntabilitas Dana Jamrek: Pemerintah harus membuka secara publik berapa dana Jamrek yang disetor, di mana disimpan, dan bagaimana menggunakannya. Harus ada audit independen untuk memastikan dana itu benar-benar untuk pemulihan, bukan masuk ke kantong pejabat.

 * Pertanggungjawaban Pidana Atas 49 Korban Jiwa: Pemerintah harus memaksa perusahaan untuk bertanggung jawab secara pidana maupun perdata atas nyawa yang hilang. Tutup segera lubang-lubang maut itu!

 * Keterlibatan Masyarakat dalam Pemulihan: Warga yang terdampak harus menjadi subjek, bukan objek. Mereka harus dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pemulihan pascatambang.


Pada akhirnya, selama sanksi hanya menjadi alat peras dan negara abai pada warganya—membiarkan mereka hidup dengan air tercemar, udara berdebu, dan ancaman lubang maut—maka drama birokrasi ini akan terus berlanjut. Kita harus sadar, inilah wajah asli negara yang tunduk pada kepentingan batubara dan mengorbankan keselamatan rakyatnya. Keadilan harus ditegakkan, dan 49 nyawa yang telah melayang menuntut pertanggungjawaban yang sesungguhnya, bukan sekadar gimmick penghentian sementara. 

Tidak ada komentar