Skandal di Balik Penertiban Sawit Negara
Nyaur.com | Jakarta — Bayangkan sejenak, di atas tanah yang kau rawat turun-temurun, tempat keringat bapak dan kakekmu tumpah, tiba-tiba tertancap sebuah patok dingin bertuliskan "Disegel Negara". Tanah itu, sumber hidupmu, kini bukan lagi milikmu. Kamu diberitahu ini adalah bagian dari "penertiban" untuk menyelamatkan hutan dari korporasi sawit ilegal. Tapi ironisnya, kamulah yang menjadi korban, sementara pemain lama hanya berganti jubah, dari swasta menjadi plat merah.
Kisah pilu ini merupakan kenyataan pahit yang dialami ribuan warga di berbagai pelosok Indonesia. Sebuah program ambisius pemerintah yang bertujuan membereskan carut-marut perkebunan sawit ilegal di kawasan hutan justru melahirkan monster baru. Alih-alih memulihkan hak rakyat dan menyembuhkan luka ekologis, penertiban ini, menurut temuan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), telah menjelma menjadi babak baru perampasan ruang hidup yang dilakukan secara terang-terangan oleh negara.
Gini ceritanya. Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. Tujuannya mulia, yaitu menindak perusahaan sawit nakal yang merusak hutan. Untuk menjalankan misi ini, dibentuklah Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan (PKH). Namun, apa yang terjadi di lapangan adalah sebuah plot twist yang tragis.
"Fakta ini membuktikan bahwa Perpres tersebut menggeser kejahatan yang sebelumnya dilakukan oleh perusahaan dengan fasilitasi negara, ke kejahatan yang dilakukan secara langsung oleh negara," ungkap Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional.
Dari investigasi WALHI di sepuluh provinsi, benang merahnya sama, yakni Satgas PKH tidak menyentuh akar masalah. Mereka datang, memasang plang penyegelan, lalu pergi. Ironisnya, patok-patok itu seringkali tertancap di lahan milik petani kecil dan masyarakat adat yang justru selama ini menjadi korban konflik dengan perusahaan raksasa. Hak mereka yang seharusnya dipulihkan, malah direnggut untuk kedua kalinya.
Lalu, ke mana perginya lahan-lahan yang telah diambil alih negara itu? Di sinilah muncul satu nama yang menjadi sorotan: PT Agrinas Nusantara. WALHI menemukan bahwa lahan-lahan sitaan itu diserahkan kepada PT Agrinas, sebuah perusahaan yang menurut Uli "didominasi oleh militer". Proses penyerahannya pun misterius, tanpa landasan hukum yang jelas dan tanpa memenuhi syarat-syarat legal seperti analisis dampak lingkungan (AMDAL) atau izin pelepasan kawasan hutan.
"Hanya ada dua tujuan satgas ini. Pertama, cari uang saja. Kedua, mengganti pemain. Yang tadinya perusahaan swasta menumpuk untung dari bisnis ilegal, sekarang perusahaan negara," tambah Uli dengan lugas.
Di Kalimantan Tengah, suasananya kian mencekam. Bayu Herinata, Direktur Eksekutif WALHI Kalteng, menyebut praktik ini sebagai "bentuk baru kejahatan struktural". Di Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Timur, plang penyegelan Satgas dipasang tanpa kejelasan lokasi dan luas lahan, bahkan berbeda dari data resmi pemerintah. Anehnya lagi, aktivitas perusahaan di lokasi yang disegel tetap berjalan seperti biasa.
"Yang lebih parah, lahan masyarakat adat dan petani sawit kecil yang telah lama berkonflik dengan perusahaan justru ikut disegel. Padahal mereka korban! Ini bukan penertiban, tapi pemutihan dosa korporasi dan legalisasi kejahatan lingkungan oleh negara," tegas Bayu.
Cerita serupa datang dari Kalimantan Barat. Lahan PT Duta Palma yang berkonflik dengan buruh, setelah disegel Satgas, langsung diserahkan ke PT Agrinas tanpa menyelesaikan masalah PHK para buruhnya. Di Kabupaten Landak, masyarakat menuntut pengembalian hutan lindung seluas 238 hektare dari PT Satria Multi Sukses (SMS). Tak lama setelah aksi warga, PT SMS memang disegel. Namun, nasib hutan lindung dan hak kelola masyarakat tetap terkatung-katung tanpa kejelasan.
Jika di Kalimantan praktik ini terasa seperti pengkhianatan, di Sumatera, levelnya sudah mencapai intimidasi dan pungutan paksa. Di Sumatera Utara, di lahan eks-PT Torganda, oknum yang mengatasnamakan Agrinas tiba-tiba muncul. Mereka mendatangi para kepala desa dengan mengenakan pakaian loreng.
"Mereka meminta upeti sebesar Rp400 per kilogram hasil panen sawit. Proses pemungutan ini dilakukan secara intimidatif, menciptakan ketakutan serta tekanan psikologis di tingkat desa," ungkap Riandra, Direktur WALHI Sumatera Utara.
Di Jambi, ceritanya tak kalah ironis. Satgas menyegel 280 hektare lahan yang justru sedang dalam proses resolusi konflik antara masyarakat dan perusahaan. Padahal, warga sedang dalam tahap sosialisasi untuk bekerja sama dengan PT Agrinas dengan skema bagi hasil 40:60. Namun, skema itu pun dinilai tidak adil karena seluruh beban pekerjaan ditanggungkan kepada masyarakat.
Di tengah semua kekacauan hukum dan angka-angka hektare ini, kita sering lupa esensi utamanya. Seperti yang diingatkan Wengky Purwanto, Direktur WALHI Sumatera Barat, "Hutan seharusnya dipahami bukan sekadar aset legal formal, tetapi sebagai penyangga sistem kehidupan. Hutan memiliki fungsi ekologis, sosial, budaya, dan bahkan nilai spiritual."
Di Kabupaten Agam, misalnya, 1.500 hektare lahan yang disegel Satgas dulunya adalah tanah ulayat (tanah adat) yang dijanjikan untuk kebun plasma bagi masyarakat, sebuah janji yang tak pernah ditepati. Seharusnya, penertiban ini menjadi momen untuk mengembalikan tanah itu kepada pemilik sahnya, masyarakat adat.
Pada akhirnya, penertiban yang digembar-gemborkan sebagai solusi ini justru menunjukkan cara pandang pemerintah yang masih melihat hutan sebagai domain eksklusif negara, dan rakyat di dalamnya sebagai masalah. Ginda Harahap dari WALHI Jambi menyimpulkan dengan tajam, "Koreksi kawasan hutan bukan semata perkara teknis spasial atau legalisasi status. Ini adalah soal keadilan ekologis, sejarah relasi kuasa, dan pemulihan hak masyarakat atas ruang hidup mereka."
Post a Comment