Kisah Sedih Bengawan Solo yang Sekarat Digerogoti Limbah, Ancaman Nyata Bagi 17 Juta Jiwa
Nyaur.com | Surabaya — Coba bayangkan ini: Kamu bangun pagi, menghirup udara yang harusnya segar, tapi yang kamu temukan malah aroma aneh, campuran antara deterjen, bahan kimia, dan lumpur busuk. Lalu, kamu melihat ke sungai, yang konon jadi nadi kehidupan dari zaman nenek moyang, dan yang kamu dapati bukan lagi air jernih yang memantulkan langit, melainkan cairan keruh kecoklatan yang tebal, hampir menyerupai kopi susu yang gagal.
Itulah realitas pahit yang kini menyelimuti Bengawan Solo. Bukan sekadar sungai biasa, ia adalah legenda, saksi sejarah, dan sumber hidup bagi sekitar 17 juta penduduk di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun, sekarang, statusnya seperti pasien kritis di ICU. Data terbaru dari Stasiun Onlimo KLH di Padangan, Bojonegoro, pada periode 16–22 September 2025, menampar kita semua: kualitas air Bengawan Solo sudah tidak memenuhi baku mutu dan resmi masuk kategori tercemar. Ini bukan lagi alarm, ini adalah sirine tanda bahaya yang memekakkan telinga.
Bengawan Solo, dengan panjangnya yang meliuk-liuk lebih dari 600 km, seharusnya menjadi simbol kemakmuran ekologis. Tapi kenyataannya, sungai yang mengalirkan kehidupan ini kini tercekik. Penyebabnya? Tiga 'setan' pencemaran yang bekerja sama:
* Limbah Industri: Pabrik-pabrik nakal yang membuang sisa proses produksi tanpa pengolahan memadai, mengubah sungai menjadi 'tong sampah' kimia raksasa.
* Limbah Rumah Tangga: Jutaan rumah tangga di sepanjang aliran sungai membuang sampah dan limbah domestik ke badan air, perlahan tapi pasti, membuat sungai menjadi selokan masal.
* Aktivitas Tambang: Penambangan di badan sungai dan sekitarnya merusak struktur alami, mengeruhkan air, dan mempercepat erosi, merusak fungsi ekologis sungai secara brutal.
Kondisi ini membuat Bengawan Solo jauh dari kata ideal sebagai sumber air minum, irigasi sawah, apalagi habitat ikan air tawar. Ia kini hanyalah sungai 'lelah' yang berjuang keras menahan beban pencemaran yang kian masif.
Isu pencemaran ini, guys, dampaknya bukan cuma soal pemandangan sungai yang jelek. Ini langsung menyerang dua hal esensial dalam hidup kita: kesehatan dan ekonomi.
Ketika air sungai tercemar, risiko penyakit berbasis air seperti diare, kolera, dan tifus meningkat drastis. Bayangkan biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk berobat! Kerugian sektor kesehatan akibat penyakit berbasis air ini diperkirakan mencapai ratusan miliar rupiah. Ini adalah uang rakyat yang seharusnya bisa dialokasikan untuk pembangunan, tapi malah habis untuk menanggulangi dampak kelalaian.
Bengawan Solo adalah urat nadi pertanian dan perikanan air tawar. Ketika airnya beracun, hasil panen sawah terancam gagal, dan ikan-ikan mati. Potensi kerugian dari sektor pertanian dan perikanan air tawar diperkirakan menembus angka fantastis: lebih dari Rp1,2 triliun per tahun!
Triliunan! Ini uang yang hilang, yang seharusnya bisa menghidupi keluarga petani dan nelayan, malah lenyap karena ulah segelintir pencemar yang tidak bertanggung jawab dan lemahnya penegakan hukum.
Hukum kita, khususnya UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), sudah sangat jelas. Negara wajib mencegah, menanggulangi, dan memulihkan pencemaran. Tapi, realitas di lapangan seringkali berkata lain. Penegakan hukum tampak loyo, sanksi administratif seolah hanya basa-basi, dan para pencemar besar kerap lolos dari jerat pidana.
Kita, sebagai bagian dari masyarakat yang peduli masa depan, harus mendesak pemerintah untuk segera bergerak. Walhi Jawa Timur, misalnya, sudah mengeluarkan tuntutan tegas yang perlu kita support dan kawal:
* KLH Harus Sigap: Segera tetapkan Daya Tampung Beban Pencemaran Bengawan Solo. Ini penting agar ada batas maksimal limbah yang boleh masuk. Setelah itu, identifikasi semua sumber limbah dan tindak tegas pencemar lintas wilayah!
* Pemprov Jatim Wajib 'Galak': Perketat izin dan pengawasan industri. Tidak ada lagi toleransi untuk pabrik yang melanggar baku mutu. Koordinasi pemulihan ekologis di seluruh DAS adalah keharusan.
* Pemkab/Pemkot Harus Jadi 'Mata dan Tangan' di Lapangan: Lakukan pengawasan langsung, stop aktivitas tambang ilegal di sungai, dan segera buat program nyata pengelolaan limbah domestik berbasis komunitas. Jangan hanya duduk di belakang meja!
* Kebijakan Terintegrasi: Pemerintah dari hulu sampai hilir wajib menyusun strategi pemulihan terpadu yang transparan, terukur, dan melibatkan publik.
Kita tidak bisa membiarkan Bengawan Solo terus menjadi korban kebijakan yang tumpang tindih dan penegakan hukum yang setengah hati.
Sungai ini bukan hanya soal air, tapi soal identitas, sejarah, dan masa depan jutaan orang. Apakah kita akan membiarkan kisah legendaris ini berakhir tragis? Gunakan platform media sosialmu untuk menanyakan kabar Bengawan Solo pada pemerintah daerahmu. Sebab, air bersih bukanlah kemewahan, tapi hak dasar yang harus kita perjuangkan!
Post a Comment