Kenapa Aktivis 'Dibungkam' dan Anak Muda Wajib Tahu?

Kenapa Aktivis 'Dibungkam' dan Anak Muda Wajib Tahu?

Nyaur.com | Jakarta –
Pernahkah kamu merasa frustrasi saat scroll media sosial, melihat ketidakadilan, dan ingin berteriak menyuarakan isi hati? Kita, generasi Millennial dan Gen Z, tumbuh di era instant information, di mana speak up bukan lagi pilihan, tapi keharusan. Namun, bayangkan jika suara itu justru berujung pada gelapnya jeruji besi. Itu bukan lagi skenario film, guys. Itu adalah realitas yang ditemukan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), sebuah temuan yang seharusnya membuat kita semua – yang peduli pada demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) – merinding.


Ini bukan tentang politik yang membosankan atau sekadar update berita. Ini tentang nyawa, kebebasan, dan masa depan gerakan sipil di Indonesia. Kita melihatnya di penghujung Agustus dan September, gelombang protes yang memuncak, menyuarakan kebijakan negara yang terasa mencekik. Tapi di balik gemuruh demonstrasi, ada pola penangkapan yang, menurut YLBHI, bukan lagi kebetulan, melainkan teror sistematis negara. Seolah ada upaya perburuan dan pembungkaman masif yang menyasar para aktivis pro-demokrasi. Jadi, ketika layar ponselmu menampilkan berita penangkapan, jangan hanya swipe up. Berhentilah sejenak, karena yang sedang dipertaruhkan adalah hak kita untuk bebas berpendapat dan berekspresi.


LBH-YLBHI tidak bicara tanpa data. Mereka mengumpulkan setidaknya 11 poin temuan yang menggambarkan pola dan modus umum pelanggaran yang terjadi pasca-demonstrasi. Ini adalah drama nyata tentang bagaimana rule of law bisa dibengkokkan, dan dampaknya sungguh menghancurkan. Rangkuman 11 poin tersebut di antaranya:


1. Hilangnya Akses dan Dinding Informasi

Poin pertama yang paling mencekam: ketiadaan atau dibatasinya akses informasi bagi keluarga dan pengacara. Bayangkan, seorang aktivis ditangkap, dan keluarganya harus mencari-cari seperti orang hilang. Ini bukan hanya melanggar hak, tapi juga memunculkan dugaan praktik penghilangan paksa. Tim advokasi pun kesulitan menemukan korban, menjadikan penangkapan sebagai kubangan informasi gelap.


2. Penangkapan Sewenang-wenang: Grep di Malam Hari

Penangkapan masif terjadi dengan modus yang seragam dan mengkhawatirkan: tanpa alat bukti permulaan yang cukup, dilakukan oleh aparat tanpa seragam, seringkali di malam hari atau dini hari—taktik yang jelas untuk memunculkan efek kejut dan memanfaatkan kondisi fisik serta psikologis yang rentan. Pemeriksaan dilakukan maraton tanpa istirahat, yang bagi YLBHI, adalah praktik yang mengarah pada penyiksaan. Yang lebih parah, akses bantuan hukum dihalang-halangi, bahkan LBH-LBH kesulitan mendampingi.


3. Anak-anak dalam Cengkeraman Kekerasan

Ini adalah bagian yang paling menyentuh sisi kemanusiaan kita. Dari 960 individu yang ditetapkan sebagai tersangka per 27 September 2025, 265 di antaranya adalah anak-anak. Di Magelang, 26 anak dilaporkan mengalami penyiksaan. Ada pengakuan dicambuk dengan selang, ditampar, ditendang, hingga dipukul dadanya. Tujuannya? Memaksa pengakuan. Fakta bahwa pemeriksaan tanpa didampingi orang tua, BAPAS, atau penasehat hukum adalah pelanggaran berat terhadap UU SPPA dan membuka ruang untuk praktik pemerasan—seperti permintaan "uang rokok" kepada korban di Makassar.


4. Narasi 'Anarko' dan Pembungkaman Intelektual

Apa yang disita polisi sebagai barang bukti? Tak hanya handphone atau laptop, tapi juga buku, artikel, dan zine. Ini terjadi pada kasus Delpedro dan Fakhrurrozi. Polisi sering mengaitkan kerusuhan dengan "ideologi anarkisme." Penyitaan buku-buku ini seolah membangun narasi bahwa protes adalah hasil dari paham terlarang, bukan kemarahan tulus rakyat.


Penggambaran massa aksi sebagai "anarko" oleh Polda Metro Jaya, atau penyitaan buku bernuansa anarkisme oleh Polda Jatim, adalah upaya polisi untuk membangun narasi provokasi. Narasi ini semakin kuat ketika Presiden menyebut adanya upaya "makar" dan "terorisme." Apa tujuannya? Mengubur fakta bahwa demonstrasi adalah cerminan ketidakpuasan/kemarahan masyarakat terhadap kebijakan negara yang menindas, seperti kenaikan tunjangan DPR, kenaikan PPN, dan praktik brutalitas kepolisian itu sendiri. Kriminalisasi ini dipakai sebagai peredam untuk membungkam gerakan kritis dan mengalihkan fokus dari aktor sesungguhnya.


5. Impunitas, Diskriminasi, dan Jalan Tengah yang Dibayar Mahal

Poin kesepuluh YLBHI menunjukkan adanya praktik impunitas dan diskriminasi penegakan hukum. Tidak ada tindak lanjut penyelidikan terhadap 10 korban meninggal dan mereka yang luka berat akibat kekerasan aparat. Laporan adanya keterlibatan aparat militer (TNI/BAIS) dalam kerusuhan juga tidak diusut. Singkatnya, kekerasan oleh aparat luput dari proses hukum pidana.


6. Yang terakhir dan tak kalah menyakitkan: adanya upaya "pembungkaman" terhadap korban salah tangkap. Mereka diiming-imingi kompensasi dengan syarat menandatangani surat pernyataan untuk tidak menempuh upaya hukum (pidana atau perdata). Ini adalah cara halus untuk membeli kebisuan dan melindungi para pelaku pelanggaran.


Total 960 orang ditetapkan sebagai tersangka terkait aksi demonstrasi per 27 September 2025, menyebar dari Jambi hingga Sulawesi Selatan. Pasal-pasal yang digunakan sangat bervariasi, mulai dari Penghasutan (Pasal 160 KUHP), Kekerasan Bersama-sama (Pasal 170 KUHP), hingga UU ITE dan UU Darurat. Ini menunjukkan keseriusan pihak berwajib dalam "klasterisasi penangkapan" antara pelaku lapangan dan mereka yang dicap "provokator" demi menguatkan narasi bahwa selalu ada dalang di balik setiap protes.


YLBHI mendesak Kepolisian untuk membebaskan seluruh massa aksi tanpa syarat, menghentikan kriminalisasi, dan meminta Presiden serta DPR membentuk Tim Pencari Fakta Independen untuk mengusut tuntas kerusuhan dan pelanggaran HAM.


Sebagai generasi yang akan mewarisi negeri ini, pesan ini harusnya menggugah kita. Kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah nadi demokrasi. Jika para aktivis—mereka yang berani berdiri untuk kita semua—dibungkam dengan pola yang sistematis dan melanggar hukum, maka siapa lagi yang akan bersuara? Kita harus terus bersuara, menolak kriminalisasi, dan mendesak reformasi kepolisian. Sebab, demokrasi yang sehat hanya bisa tumbuh dari warga negara yang berani dan kritis. Jangan biarkan suara kita mati!

Tidak ada komentar