Harga Rokok 'Nggak Ngotak': Solusi Cerdas buat Dompet & Kesehatan Gen Z!
Nyaur.com | Jakarta — Kamu lagi scroll media sosial, swipe sana-sini, dan tiba-tiba iklan rokok muncul. Murah, gampang dibeli, dan seolah nggak ada masalah. Tapi, guys, di balik kemudahan itu, ada harga yang jauh lebih mahal yang harus kita bayar: kesehatan dan masa depan ekonomi bangsa. Ini bukan lagi soal pilihan gaya hidup, tapi soal prioritas negara yang belakangan ini terasa agak melenceng!
Di tengah gempuran harga-harga yang makin mencekik—mulai dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang naik, sampai Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)—pemerintah justru terlihat lebih sreg (senang) mengutak-atik kebutuhan dasar kita. Padahal, ada jalan pintas cerdas dan lebih adil yang bisa banget ditempuh: naikkan Cukai Hasil Tembakau (CHT) atau pajak rokok! Koalisi Pengendalian Tembakau, yang terdiri dari para ahli kesehatan dan ekonomi, udah berteriak lantang: membuat rokok mahal adalah solusi win-win yang nggak boleh diabaikan.
Guys, bayangkan betapa shock-nya kita. CHT, yang seharusnya jadi tameng kita buat menekan konsumsi produk berbahaya ini, justru tidak naik di tahun 2025. Keputusan ini fatal, lho! CHT itu ibarat rem darurat buat kesehatan publik dan keuangan negara, dan remnya malah dianggurin.
Diah Saminarsih, CEO & Founder Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), dengan tegas bilang: "Tidak naiknya tarif cukai tidak hanya mengurangi potensi penerimaan negara, tetapi juga berdampak serius bagi produktivitas dan kesehatan masyarakat."
Dia menambahkan, rokok wajib kena cukai karena sifatnya yang berbahaya dan konsumsinya harus dikendalikan. Nih data yang bikin kita makin mikir keras: Tahun 2019, saat cukai nggak naik, CISDI mencatat biaya ekonomi akibat merokok melonjak hingga Rp 410 triliun—itu setara 2,59 persen dari total PDB Indonesia! Angka segede itu hanya karena biaya pengobatan yang naik dan hilangnya produktivitas. Gila, kan? Bahkan, penerimaan cukai rokok saat itu nggak mampu menutupi biaya kesehatan tersebut. Negara kita rugi bandar di sini!
Gimana suara rakyat soal ini? Jangan salah, dukungan buat memahalkan rokok itu kuat banget!
Survei dari Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia di tahun 2018 menunjukkan, mayoritas responden setuju harga rokok naik. Yang lebih menarik, mereka bilang tidak akan beli rokok kalau harganya sudah menyentuh Rp70.000 per bungkus!
Ini insight penting buat kita, Gen Z dan Milenial: harga itu penentu utama. Selama rokok masih murah, terutama yang varian paling terjangkau, anak muda dan kelompok pra-sejahtera gampang banget beralih konsumsi ke merek yang lebih murah saat ada kenaikan harga.
Aryana Satrya, Ketua PKJS-UI, ngasih warning keras: “Selama rokok tetap terjangkau dan terdapat variasi harga murah, produktivitas bangsa dan daya saing ekonomi terancam menurun.” Kenaikan tarif dan penyederhanaan struktur cukai untuk membuat harga jual rokok mahal adalah langkah yang urgent demi melindungi kesehatan kita.
Anggapan bahwa kenaikan cukai itu cuma bikin sakit hati perokok itu nggak sepenuhnya benar. Justru, kenaikan cukai yang substansial itu bisa jadi booster buat ekonomi kita.
Studi CISDI (2024) udah membuktikan:
* Kenaikan tarif cukai 45 persen berpotensi menurunkan konsumsi rokok kretek hingga 27,7 persen.
* Menurunkan konsumsi rokok putih hingga 19,5 persen.
* Menambah penerimaan negara hingga Rp 7,92 triliun (uang yang bisa dipakai buat subsidi atau pembangunan!).
* Menciptakan lebih dari 148 ribu lapangan kerja (iya, lho, nggak salah baca!).
Fakta ini menampar alasan klasik soal ekonomi yang selalu dipakai buat menahan kenaikan cukai.
Satu alasan yang sering di-blow up buat nggak naikin cukai adalah ketakutan maraknya rokok ilegal. Tapi, hold up, para ahli nggak sependapat!
Diah Saminarsih menegaskan, “Kenaikan cukai bukan penyebab utama maraknya rokok ilegal.” Survei di enam kota menunjukkan, yang jadi biang keladi justru rantai pasok lokal dan lemahnya penegakan hukum. Jadi, isu rokok ilegal ini lebih ke masalah pengawasan dan hukum, bukan harga!
Koalisi Pengendalian Tembakau udah sampai pada titik: urgensi menaikkan tarif cukai secara signifikan nggak bisa dinegosiasi lagi.
Aryana menutup dengan pesan yang menyentuh: “Mengutamakan kepentingan industri rokok berarti mengorbankan kesehatan masyarakat demi keuntungan jangka pendek. Dengan memahalkan harga rokok, masyarakat dapat terhindar dari penyakit dan lebih tangguh secara finansial.”
Ini tentang keberpihakan. Di tengah sulitnya ekonomi, pemerintah didorong untuk berpihak pada rakyatnya. Kalau rokok mahal, kita Gen Z dan Milenial nggak bakal gampang terjebak dalam lingkaran setan adiksi dan penyakit. Uang yang seharusnya buat beli rokok bisa dialihkan buat kebutuhan yang lebih penting atau tabungan masa depan.
Makanya, Koalisi mendesak Menteri Keuangan untuk menaikkan tarif CHT dan Harga Jual Eceran (HJE) secara signifikan. Langkah ini harus terencana (penerapan tahun jamak) dan bertahap (penyederhanaan golongan tarif), sesuai mandat Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029.
Sekarang saatnya kita melek. Ini bukan cuma soal pajak, tapi soal masa depan finansial dan kesehatan kita semua. Kebayang nggak, kalau uang yang nggak kita bakar buat rokok, bisa jadi modal startup atau dana pendidikan anak kita kelak?
Post a Comment