Gelapnya Tiga Hari di Surabaya: Salah Baju, Hilang Kabar, dan Suara yang Dibungkam
Nyaur.com | Surabaya — Bayangkan kamu lagi asyik nongkrong di salah satu sudut ikonik Surabaya, mungkin di sekitar Taman Apsari atau Tunjungan yang selalu ramai. Tiba-tiba, suasana berubah tegang. Kerumunan orang, teriakan, dan barisan aparat berseragam hitam-hitam. Kamu, yang mungkin hanya kebetulan lewat atau sekadar penasaran, malah ikut terseret dalam kekacauan. Ponselmu dirampas, tubuhmu didorong, dan tanpa penjelasan, kamu berakhir di dalam truk polisi. Horor? Ini bukan adegan film, tapi kenyataan pahit yang dialami ratusan orang di Surabaya pada akhir Agustus 2025.
Kisah ini bukan cuma tentang demonstrasi yang berakhir ricuh. Ini adalah cerita tentang hak kita yang terancam, tentang warga biasa yang menjadi korban. Cerita tentang seorang anak muda yang mungkin hanya ingin pulang ke rumah setelah kerja kelompok, tapi karena memakai kaus hitam, ia dicap sebagai perusuh dan diangkut. Ini adalah potret buram tentang bagaimana kebebasan kita untuk bersuara dan bahkan sekadar berada di ruang publik, bisa direnggut dalam sekejap mata. Tiga hari yang seharusnya menjadi panggung solidaritas, justru berubah menjadi babak kelam penegakan hukum di Kota Pahlawan.
Semua bermula dari gelombang aksi solidaritas yang digelar warga pada 29 hingga 31 Agustus 2025. Niatnya baik, menyuarakan aspirasi. Namun, respons yang didapat jauh dari kata dialogis. Aparat kepolisian turun dengan kekuatan penuh, mengubah jalanan Surabaya menjadi arena penangkapan massal yang serampangan. Menurut catatan Tim Advokasi untuk Rakyat Jawa Timur (TAWUR), angka yang tercatat sungguh mencengangkan: sedikitnya 110 orang diciduk.
Namun, ini bukan sekadar angka di atas kertas. Di balik angka itu, ada kepanikan keluarga, ketakutan, dan ketidakpastian. Dari 110 orang itu, sebanyak 83 orang memang telah dibebaskan. Lima orang lainnya masih berstatus "diperiksa." Tapi yang paling membuat merinding adalah nasib 22 orang lainnya. Hingga artikel ini ditulis, keberadaan dan status hukum mereka masih menjadi misteri. Lenyap begitu saja, seolah ditelan bumi. Pihak Polrestabes Surabaya dan Polda Jatim seakan menutup rapat pintu informasi, membiarkan keluarga korban terkatung-katung dalam cemas. Di mana mereka sekarang? Apa yang terjadi pada mereka?
Yang lebih ironis, banyak dari mereka yang ditangkap bukanlah peserta aksi. Ada yang sekadar jalan-jalan sore, ada yang berhenti karena penasaran melihat keramaian, bahkan ada yang sedang dalam perjalanan pulang. Mereka menjadi korban salah tangkap hanya karena berada di waktu dan tempat yang salah, atau karena pilihan busana yang dianggap "mencurigakan"—seperti memakai baju hitam.
Fakta ini menunjukkan betapa acaknya operasi penangkapan yang dilakukan. Aparat seolah tak peduli siapa yang mereka tangkap, yang penting target jumlah terpenuhi. Praktik "sapu jagat" ini jelas melanggar prinsip hukum acara pidana, ketika penangkapan seharusnya didasarkan pada bukti permulaan yang cukup, bukan atas dasar asumsi atau warna pakaian. Logika sederhana pun diabaikan: sejak kapan warna hitam menjadi simbol kejahatan?
Bahkan, delapan anak di bawah umur ikut terseret dalam gelombang penangkapan ini. Mereka diperiksa di Polrestabes Surabaya, sebuah perlakuan yang jelas-jelas menabrak Undang-Undang Perlindungan Anak. Meski akhirnya dipulangkan, trauma dan ketakutan yang mereka alami adalah luka yang tak kasatmata. Menangkap anak-anak dalam sebuah aksi damai adalah pelanggaran serius dan preseden buruk bagi masa depan demokrasi kita.
Di balik dinding ruang pemeriksaan, cerita horor lainnya terungkap. Tim Advokasi menerima banyak laporan mengenai kekerasan fisik dan psikis. Pemukulan, intimidasi verbal, hingga perampasan barang pribadi seperti ponsel dan bahkan hilangnya kendaraan bermotor menjadi bagian dari prosedur tak resmi yang dialami para korban. Hak paling mendasar untuk merasa aman dan terlindungi, seperti yang dijamin konstitusi, seolah tak berlaku bagi mereka malam itu.
Parahnya lagi, proses pemeriksaan dilakukan dengan cara-cara yang melanggar hukum. Aparat menggunakan dokumen ilegal berkedok "klarifikasi" atau "interogasi" yang sama sekali tidak diakui dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ini adalah upaya untuk menjebak dan mengkriminalisasi warga tanpa dasar hukum yang sah.
Seolah belum cukup, hak fundamental untuk mendapatkan pendampingan hukum pun dihalangi. Tim Advokasi dari TAWUR mengaku sempat ditahan berjam-jam di pos penjagaan, membuat banyak korban diperiksa tanpa didampingi pengacara. Padahal, hak didampingi pengacara sejak awal pemeriksaan adalah jaminan mutlak dalam negara hukum. Ini adalah strategi sistematis untuk melemahkan posisi korban, membuat mereka rentan terhadap tekanan dan intimidasi.
Rentetan peristiwa di Surabaya ini adalah alarm bahaya bagi kita semua. Ini bukan lagi soal aksi dan reaksi, tapi soal bagaimana negara memperlakukan warganya yang menggunakan hak konstitusionalnya untuk berpendapat. Upaya kriminalisasi tidak hanya terjadi di jalanan, tapi juga merembet ke dunia maya, menyasar siapa saja yang dianggap "provokator" karena bersuara kritis di media sosial.
Menanggapi brutalitas ini, Tim Advokasi untuk Rakyat Jawa Timur (TAWUR) mengeluarkan seruan keras:
* Mengutuk keras segala bentuk kekerasan dan penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat.
* Mengecam praktik penangkapan sewenang-wenang dan upaya kriminalisasi.
* Mendesak Kapolri untuk membebaskan semua yang ditangkap tanpa prosedur dan memberikan akses bantuan hukum seluas-luasnya.
* Mendesak Kapolri untuk memulihkan hak-hak korban, termasuk memberikan rehabilitasi atas trauma yang mereka alami.
* Mendesak Komnas HAM, KPAI, dan lembaga pengawas lainnya untuk turun tangan melakukan investigasi independen.
* Mendesak Pemerintah untuk tidak tuli terhadap tuntutan rakyat.
Pada akhirnya, kisah dari Surabaya adalah pengingat bahwa demokrasi harus terus dirawat dan diperjuangkan. Aparat kepolisian adalah penegak hukum, bukan penguasa yang bisa bertindak semaunya. Setiap suara kritis, setiap pendapat yang berbeda, adalah vitamin bagi demokrasi, bukan ancaman yang harus diberangus. Karena suara kita, suaramu, dan suara mereka yang dibungkam di Surabaya, terlalu berharga untuk dibiarkan hilang dalam senyap.
Post a Comment