Jeritan Demokrasi di Jayapura dan Drama Represif di Depan Kampus
Nyaur.com | Jayapura — Kala itu di depan Gapura Universitas Cenderawasih (Uncen), Waena, Abepura, seharusnya menjadi panggung demokrasi yang tenang, tempat suara-suara muda menggaungkan aspirasi. Namun, pada 30 September 2025, suasana damai peringatan 63 Tahun Roma Agreement tiba-tiba berubah menjadi ketegangan yang menyesakkan dada. Bukan sambutan, melainkan dugaan tindakan represif dari aparat keamanan yang menyambut para mahasiswa. Bayangkan: niat baik untuk menggunakan hak berserikat dan menyampaikan pendapat yang dilindungi UUD 1945 dan UU No. 9 Tahun 1998 justru berujung pada bentrokan, penangkapan sewenang-wenang, dan bahkan kekerasan terhadap jurnalis. Rasanya seperti mimpi buruk, ketika kebebasan berbicara yang kita banggakan tiba-tiba seperti dibungkam paksa.
Ini bukan sekadar berita biasa tentang demonstrasi yang ricuh. Ini adalah kisah tentang bagaimana hak asasi manusia (HAM), fondasi utama negara demokrasi kita, diuji dan terancam di tengah jalanan yang ramai. Bagi kita, generasi yang haus akan keadilan dan keterbukaan, insiden di Jayapura ini adalah alarm keras yang wajib kita dengarkan. Kita akan membedah alur ceritanya, menganalisis mengapa insiden ini disebut "Dugaan Tindak Pidana Demokrasi," dan apa tuntutan mendesak dari Koalisi Penegakan Hukum dan HAM Tanah Papua yang kini menggema menuntut keadilan.
Tiga hari sebelum aksi digelar, panitia sudah tuntas menjalankan kewajibannya. Penanggung jawab aksi memperingati 63 Tahun Roma Agreement sudah mendatangi Polresta Jayapura, menyerahkan surat pemberitahuan kepada Kasat Reskrim dan diterima oleh anggota. Catat poin penting ini: aksi damai ini telah menempuh mekanisme legal sesuai Pasal 10 UU No. 9 Tahun 1998, yang mewajibkan pemberitahuan tertulis selambat-lambatnya 3 x 24 jam. Artinya, demonstrasi ini secara hukum sah dan dilindungi.
Akan tetapi, fakta di lapangan berbicara lain. Ketika massa aksi berdiri di depan gapura Uncen, alih-alih mendapatkan perlindungan dan pengamanan sesuai Pasal 13 UU No. 9 Tahun 1998, mereka justru diduga menghadapi tindakan represif. Tugas Polri adalah menjamin keamanan dan ketertiban umum sekaligus melindungi pelaku atau peserta penyampaian pendapat. Jika yang terjadi adalah dugaan kekerasan, itu menunjukkan adanya ketidakpatuhan terhadap undang-undang yang fundamental ini.
Koalisi Penegakan Hukum dan HAM Tanah Papua sangat lugas dalam menyimpulkan insiden ini: Aparat Kepolisian Resort Kota Jayapura diduga telah melakukan Tindak Pidana Demokrasi.
Mengapa disebut demikian? Karena tindakan yang diduga menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang sah—dan sudah diberitahukan—adalah kejahatan.
Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 9 Tahun 1998 secara eksplisit menyatakan: "Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang telah memenuhi ketentuan Undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. Tindak pidana... adalah kejahatan."
Tragedi ini menjadi semakin gelap dengan dua fakta krusial: penangkapan sewenang-wenang dan kekerasan terhadap jurnalis.
Empat aktivis, yaitu Nopelianus Dogopia, Amoros Yeimo, Rio Yalak, dan Darki M Uropmabin, ditangkap. Penangkapan ini disebut sewenang-wenang, yang secara langsung mencoreng Pasal 6 huruf q Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2003 tentang Kode Etik Kepolisian, yang melarang penyalahgunaan wewenang. Bagi kita, ini adalah ironi pahit: pihak yang seharusnya menjaga hukum justru diduga melanggarnya dengan menahan orang yang sedang menggunakan hak konstitusionalnya.
Di tengah kekacauan itu, seorang jurnalis dari Tribun yang sedang bertugas meliput, justru menjadi korban kekerasan. Ini bukan hanya melanggar Pasal 351 KUHP (Penganiayaan) atau Pasal 170 KUHP (Pengeroyokan), tetapi juga mencederai kebebasan pers, pilar keempat demokrasi. Kartu pers yang seharusnya menjadi "tameng" bagi jurnalis saat meliput berita, diabaikan. Ini mengirimkan pesan yang mengkhawatirkan: Siapa yang melindungi mereka yang bertugas menyampaikan kebenaran?
Koalisi Penegakan Hukum dan HAM Tanah Papua, menggunakan hak partisipasi dalam penegakan HAM (Pasal 100 UU No. 39 Tahun 1999), tidak tinggal diam. Mereka menyampaikan lima tuntutan tegas, yang menunjukkan bahwa kasus ini harus diusut tuntas, baik secara pidana maupun etik:
* Kapolda Papua diperintahkan untuk segera membebaskan empat massa aksi yang ditangkap.
* Komnas HAM RI didesak untuk memproses dugaan pelanggaran Hak Demonstrasi (Pasal 24 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999).
* Kapolda Papua diperintahkan untuk memproses hukum oknum polisi pelaku Tindak Pidana Demokrasi.
* Kapolda Papua diperintahkan untuk mengadili oknum polisi pelaku penganiayaan atau pengeroyokan terhadap Wartawan Tribun.
* Divpropam Polda Papua diminta untuk memproses hukum oknum polisi pelaku Penangkapan Sewenang-wenang.
Insiden ini bukan cuma terjadi di Papua, tetapi menyentuh inti dari nilai-nilai yang kita junjung: keadilan, transparansi, dan hak untuk bersuara. Kita harus sadar bahwa hak-hak yang diperjuangkan dalam demonstrasi itu adalah hak kita juga.
Ketika demokrasi diuji, apalagi dengan dugaan tindakan represif terhadap warga yang sudah menempuh jalur hukum, itu adalah masalah kita bersama. Kita perlu mengawal kasus-kasus seperti ini, menuntut akuntabilitas, dan memastikan bahwa hukum tidak tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Suara yang dibungkam di Jayapura adalah cerminan potensi pembungkaman di mana pun. Keadilan harus ditegakkan, dan setiap oknum yang diduga melanggar hukum harus dipertanggungjawabkan, demi memastikan kebebasan berekspresi di Indonesia tetap lestari.
Bagaimana menurutmu? Apakah insiden di Jayapura ini mencerminkan tantangan serius terhadap kebebasan berpendapat di Indonesia saat ini?
Post a Comment