Kenapa UU Cipta Kerja Digugat dan Apa Dampaknya Buat Masa Depan Kita?

Kenapa UU Cipta Kerja Digugat dan Apa Dampaknya Buat Masa Depan Kita?

Nyaur.com | Jakarta —
Pernahkah kamu merasa, di tengah gegap gempita proyek-proyek raksasa yang dijanjikan, ada suara-suara lirih yang tak terdengar? Bayangkan, di balik gemerlap Kereta Cepat Jakarta Bandung yang melaju, atau di tengah hiruk pikuk pengerukan nikel di Weda Bay, ada warga yang kehilangan tanah, kehilangan kampung halaman, dan kehilangan kepastian masa depan. Suara-suara ini bukan sekadar keluhan, melainkan jeritan tentang tata kelola yang 'cacat', tentang ketidakadilan sosial yang nyata, yang kini dibawa ke meja hijau Mahkamah Konstitusi (MK). Ini bukan cuma soal hukum, bestie, ini soal nasib kita sebagai anak bangsa di masa depan.


Transparency International Indonesia (TI Indonesia), organisasi yang fokus banget sama isu antikorupsi, baru-baru ini bikin gebrakan yang harus banget kita tahu. Mereka nggak tinggal diam melihat isu yang berpotensi merugikan banyak orang. TI Indonesia mengajukan Amicus Curiae—yang dalam bahasa kerennya berarti friend of the court atau 'sahabat pengadilan'—kepada Mahkamah Konstitusi. Aksi ini bertujuan untuk memberikan masukan berdasarkan riset mendalam terkait Proyek Strategis Nasional (PSN), yang dasar hukumnya ada di Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Ini semacam alarm keras yang bilang, "Hei, pembangunan boleh, tapi jangan korbankan fondasi negara hukum dan hak asasi manusia!"


TI Indonesia menyoroti lima PSN yang jadi case study mereka dari tahun 2023 hingga 2025: Kereta Cepat Jakarta Bandung, Rempang Eco City, Makan Bergizi Gratis, Kawasan Industri Weda Bay (IWIP), dan Kawasan Industri Takalar (KITA). Jelas, kita semua pengin pertumbuhan ekonomi ngebut. Siapa sih yang nggak mau negara maju? Tapi, riset TI Indonesia menunjukkan bahwa dalam implementasinya, PSN ini seringkali 'nyeleneh'. TI Indonesia mengkritisi praktik implementasi PSN karena adanya masalah tata kelola dan potensi beban fiskal jangka panjang.


Di mata generasi muda yang melek informasi dan peduli keadilan, isu PSN ini terasa banget relate-nya karena menyangkut masa depan lingkungan, hak asasi, dan duit negara. Berikut ini beberapa poin panas yang diangkat TI Indonesia dan bikin kita wajib buka mata:


1. Partisipasi Publik Cuma Formalitas, Bukan Substantif

Apa yang salah dari penetapan PSN? Bagaimana prosesnya? TI Indonesia menemukan bahwa penetapan PSN seringkali tiba-tiba dan minim partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation). Akibatnya, timbul konflik sosial berkepanjangan, bahkan sampai menggunakan kekerasan aparat. Label PSN ini, sayangnya, sering jadi tameng untuk melegalkan pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan, apalagi jika proyek-proyek ini terafiliasi dengan kelompok elit politik dan oligarki. Inilah mengapa PSN dikritik, karena esensinya yang seharusnya untuk publik malah terkesan eksklusif.


2. PSN: 'Karpet Merah' untuk Korporasi

Status PSN ibarat tiket very important person (VIP) buat korporasi. Label ini, kata TI Indonesia, menjadi alat legitimasi negara untuk memberikan 'privilege' super istimewa. Siapa yang dapat 'privilege'? Korporasi yang terlibat dalam PSN. Apa bentuknya? Kelonggaran regulasi, potong kompas perizinan, keringanan pajak, hingga jaminan lahan, meskipun itu berarti menggusur hak warga. Semua ini dikasih atas nama percepatan, tapi sering banget mengabaikan prinsip antikorupsi, partisipasi, dan keadilan. Ini bikin kita bertanya, fair nggak sih perlakuan kayak gini?


3. Simbol Kekerasan Negara dan Isu Etnogenosida

PSN, dalam beberapa kasus, menjadi simbol kekerasan negara terhadap warganya. Praktik perampasan lahan dan ruang hidup warga terjadi demi kelangsungan proyek. Yang lebih menyedihkan lagi, ada kasus yang disebut "etnogenosida"—Masyarakat adat dipaksa menyingkir dari tanah leluhurnya! Ketika warga menolak, kriminalisasi dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan tuduhan menghambat investasi. Kapan ini terjadi? Selama proses sengketa lahan PSN. Ini adalah contoh konkret tatkala kekerasan negara menimbulkan kerugian terhadap warga.


4. Anggaran 'Instan' dan Pengadaan Cepat Kilat

PSN yang dibiayai oleh APBN (uang kita semua, lho) seringkali dilakukan dengan penganggaran dan pengadaan instan tanpa pengawasan yang memadai. Pengawasan politik, akuntabilitas keuangan, dan aspek hukum sering terlewatkan. Aktivitas pengadaan yang berlabel PSN menggunakan prosedur "pengadaan khusus", yang seringkali mengabaikan aspek keterbukaan, partisipasi, dan antikorupsi. Bagaimana ini bisa terjadi? Karena label PSN memangkas rantai birokrasi, yang sayangnya juga memangkas transparansi.


5. Ancaman Beban Fiskal dan Lingkungan Jangka Panjang

Poin terakhir ini adalah ancaman buat masa depan kita. Negara seringkali tidak memikirkan beban ekonomi, sosial, dan lingkungan jangka panjang dalam penetapan PSN. Skema pendanaan PSN dikhawatirkan akan menimbulkan beban fiskal yang berat bagi keuangan negara di masa depan, yang pada akhirnya bisa mengancam pemenuhan hak-hak warga. Kita, generasi milenial dan Gen Z, adalah yang akan menanggung utang dan dampak lingkungan dari proyek-proyek ini.


Aksi Amicus Curiae dari TI Indonesia bukan hanya sekadar gugatan hukum, melainkan upaya untuk memastikan bahwa pembangunan di Indonesia tidak boleh 'bar-bar'. Pembangunan harus memenuhi prinsip akuntabilitas, keadilan, partisipasi publik, perlindungan HAM, dan keberlanjutan lingkungan.


Sekjen TI Indonesia, Danang Widoyoko, berharap Amicus ini bisa menjadi masukan penting bagi hakim di MK. Keputusan yang akan diambil oleh MK dalam perkara pengujian UU Cipta Kerja ini akan menjadi penanda krusial arah pembangunan Indonesia ke depan: Apakah kita akan kembali ke fondasi konstitusi dan prinsip negara hukum yang melindungi warganya, atau justru memberi ruang lebih besar bagi praktik yang berpotensi merugikan masyarakat, lingkungan, dan mengancam keberlanjutan negara?


Kita, sebagai generasi muda yang akan menikmati (atau menanggung) hasil dari proyek-proyek ini, harus mengawal proses ini. Karena pada akhirnya, ini bukan cuma soal proyek infrastruktur, tapi soal keadilan sosial dan masa depan yang berkelanjutan untuk kita semua.


Gimana menurutmu? Apakah label PSN harus tetap jadi 'karpet merah' tanpa pengawasan ketat, atau sudah saatnya kita menuntut transparansi dan keadilan yang utuh?

Tidak ada komentar