Momen "Canggung" di Halim dan Pertanyaan yang Berujung Petaka
Nyaur.com | Jakarta - Sabtu, 27 September 2025, suasana di Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, terasa kontras. Di landasan pacu yang luas dan bercampur aroma khas avtur, menyambut kedatangan Presiden Prabowo Subianto beserta rombongan yang baru saja menuntaskan lawatan maraton dari empat negara mitra strategis. Presiden Prabowo turun dari pesawat dengan langkah mantap, wajahnya memancarkan kelegaan usai perjalanan panjang. Jajaran menteri dan pejabat tinggi negara telah berbaris rapi, menyambutnya dengan penghormatan resmi dan senyum hangat. Momen itu seharusnya menjadi penutup manis dari sebuah diplomasi yang diklaim "produktif dan membawa capaian penting."
Namun, di tengah keseriusan protokol dan gemuruh apresiasi, terselip sebuah ketegangan tak terlihat di antara kerumunan jurnalis yang sudah menunggu. Mereka berjejer, siap menangkap setiap diksi dan mimik wajah Sang Presiden. Salah satu di antaranya adalah DV, seorang jurnalis dari CNN Indonesia. Di saat kamera fokus pada capaian diplomasi, DV justru memilih mengangkat isu yang sedang panas dan menyentuh hati banyak orang: program andalan Makan Bergizi Gratis (MBG) yang belakangan ini tersandung masalah serius. Dengan keberanian yang khas seorang pewarta, DV melontarkan pertanyaan tajam tentang meluasnya kasus keracunan MBG yang dilaporkan telah menimpa ribuan siswa di berbagai daerah. Pertanyaan itu, yang oleh Biro Pers Istana dianggap "di luar konteks agenda", ternyata menjadi bom waktu. Hanya berselang beberapa jam kemudian, identitas kerjanya sebagai jurnalis Istana dicabut secara paksa. Sebuah keputusan yang brutal, yang secara langsung menyerang jantung kebebasan pers di negeri ini.
Insiden pencabutan ID Pers Istana milik DV bukan sekadar masalah administrasi belaka. Ini adalah serangan telanjang terhadap prinsip dasar jurnalisme dan hak publik untuk tahu. Aliansi Jurnalis Independen (AJI Jakarta) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH Pers) dengan lantang mengecam tindakan Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden tersebut. Mereka melihatnya sebagai praktik penghambatan kerja jurnalistik yang tidak dapat ditoleransi.
Kita harus bertanya: Mengapa seorang jurnalis yang menanyakan nasib ribuan anak sekolah yang menjadi korban keracunan makanan dari program prioritas negara dianggap 'melenceng'? Siapa yang memutuskan bahwa keselamatan publik tidak relevan di hadapan capaian diplomatik?
Menurut Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, pers nasional—termasuk CNN Indonesia—memiliki fungsi fundamental sebagai kontrol sosial. Bahkan Pasal 6 Ayat butir D secara eksplisit menyatakan bahwa kerja jurnalistik mencakup "melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum." Dalam kasus ini, MBG adalah program prioritas Presiden Prabowo, yang notabene menggunakan anggaran publik yang masif. Kasus keracunan yang meluas, dengan catatan Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat hingga ribuan siswa menjadi korban, adalah murni kepentingan umum yang wajib dikawal.
Kapan insiden pencabutan itu terjadi? Itu terjadi pada Sabtu malam, 27 September 2025, sekitar pukul 20.00 WIB, ketika Biro Istana langsung "menjemput" ID Pers itu di kantor CNN Indonesia. Tindakan ini dinilai sebagai upaya melumpuhkan fungsi pengawasan pers. Bagaimana Biro Pers Istana membenarkan tindakan sewenang-wenang ini? Mereka berargumen pertanyaan DV "di luar konteks agenda." Sebuah narasi yang sangat dangkal untuk membenarkan tindakan yang potensial melanggar hukum.
Kisah DV adalah pengingat pahit bahwa kemerdekaan pers tidak datang secara cuma-cuma, bahkan di era digital. Pencabutan ID pers adalah bentuk pelarangan penyiaran terselubung, yang secara tegas dilarang oleh Pasal 4 Ayat 2 UU Pers. Lebih jauh, Pasal 4 Ayat 3 menjamin hak pers untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Di mana letak keberanian jurnalis diuji? Tepat di momen mereka harus mempertanyakan kekuasaan demi kepentingan rakyat. DV hanya menjalankan amanat kode etik jurnalistik, yakni mencari keseimbangan isi berita dan memperoleh keseimbangan pernyataan dari pihak terkait, dalam hal ini Presiden Prabowo, mengenai evaluasi program MBG yang sedang disorot.
AJI Jakarta dan LBH Pers mengingatkan bahwa praktik penghambatan kerja jurnalistik seperti ini bisa menyeret pelakunya ke ranah pidana. Pasal 18 UU Pers mengancam "setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi" tugas pers dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda Rp 500 juta. Ini bukan hanya tentang DV; ini adalah serangan terhadap hak publik untuk mendapatkan informasi yang jujur dan berimbang.
Melihat kasus ini sebagai ancaman serius, AJI Jakarta dan LBH Pers melontarkan tiga tuntutan tegas:
* Mendesak Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden untuk meminta maaf secara terbuka dan mengembalikan ID Pers Istana milik jurnalis CNN Indonesia tersebut secepatnya.
* Mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk mengevaluasi pejabat di Biro Pers Istana yang bertanggung jawab atas pencabutan ID Pers DV.
* Mengingatkan semua pihak bahwa kerja jurnalis dilindungi oleh UU Pers dan segala bentuk penghambatan adalah pelanggaran hukum dan demokrasi.
Senada dengan tuntutan tersebut, Dewan Pers juga tidak tinggal diam. Mereka menyerukan agar Biro Pers Istana memberikan penjelasan yang transparan mengenai pencabutan ID Card tersebut dan, yang paling penting, meminta akses liputan wartawan CNN Indonesia yang dicabut segera dipulihkan.
Kasus ini menjadi kaca pembesar bagi kita semua, khususnya generasi muda yang peduli akan masa depan demokrasi. Bahwa di balik janji-janji muluk program besar, selalu ada ruang untuk kritik, pengawasan, dan pertanyaan lugas yang harus dijawab. Jangan biarkan pertanyaan jujur dari seorang jurnalis, yang berdiri di garda terdepan kepentingan publik, dibalas dengan pembungkaman. Kita perlu tahu, bagaimana program yang katanya untuk gizi terbaik bangsa, justru bisa membawa petaka keracunan. Dan kita berhak mendapatkan jawaban itu, tanpa harus melihat jurnalis yang bertanya dikorbankan.
Apa langkah konkret yang harus diambil Presiden Prabowo untuk memastikan insiden memalukan ini tidak terulang dan membuktikan komitmennya pada keterbukaan informasi?
Post a Comment