Kelapa Sawit yang Mengancam 'Paru-paru Terakhir' Indonesia!

Kelapa Sawit yang Mengancam 'Paru-paru Terakhir' Indonesia!

Nyaur.com | Jakarta -
"KITA bahkan tidak menyadari bahwa kita sedang menghancurkan segalanya.”


Sebuah pengakuan terlambat yang menusuk. Bagi kamu yang pernah nonton film bencana epik The Day After Tomorrow (2004), kalimat pendek dari Wakil Presiden Raymond Becker itu bukan sekadar dialog film, melainkan sebuah refleksi getir tentang keangkuhan manusia. Kita terus-menerus mengabaikan peringatan para ahli tentang kehancuran alam, memilih untuk mengedepankan ekonomi yang dianggap 'rapuh' daripada lingkungan yang jauh lebih krusial. Kesadaran baru datang ketika bencana alam, seperti badai super yang meluluhlantakkan New York dalam film itu, benar-benar menghantam.


Di dunia nyata, skenario pahit ini terulang, hanya saja bencana yang datang bergerak lebih perlahan, namun mematikan: DEFORESTASI. Ya, saat ini, kerusakan lingkungan dan perubahan iklim bukan lagi sekadar wacana politik yang keren di panggung-panggung internasional. Ini adalah kenyataan yang pahit. Ironisnya, di tengah gembar-gembor frasa "pembangunan berkelanjutan" dan "transisi hijau" dalam pidato kenegaraan, kebijakan konkret di lapangan justru sering berjalan paradoks. Kita seolah bersembunyi di balik kata-kata indah sambil diam-diam membiarkan kapak-kapak terus menebas jantung bumi kita.


Mau tahu seberapa parah lukanya? Bayangkan ini: dalam 75 tahun terakhir, 70% hutan di Sumatra dan 50% hutan di Kalimantan telah lenyap.


Di Sumatra, dulu yang terbentang adalah permadani hijau tak bertepi, kini berubah menjadi petak-petak monokultur yang seragam. Udara di sana tak lagi berbau lembap tanah basah dan lumut purba, melainkan aroma tajam pestisida dan asap pembakaran lahan. Di Kalimantan, sungai-sungai keruh mengalirkan lumpur cokelat pekat, sisa dari aktivitas pertambangan mineral dan perluasan kebun sawit yang merobek lapisan teratas tanah. Pohon-pohon raksasa yang menaungi habitat Orangutan, yang umurnya mungkin ratusan tahun, kini hanya tinggal tunggul-tunggul menyedihkan, dikelilingi jalan setapak yang dibangun untuk mengangkut kayu dan batu bara.


Siapa yang bertanggung jawab? Data Satya Bumi menunjuk telunjuknya: deforestasi di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun, didorong utamanya oleh Proyek Strategis Nasional dan kebutuhan ekspansi perkebunan, khususnya kelapa sawit. Indonesia adalah produsen sawit terbesar di dunia, dengan produksi mencapai 52,67 juta ton Crude Palm Oil (CPO), dan sekitar 10% dari komoditas ini dikirim ke Uni Eropa (UE).


Kisah tragis ini belum usai. Jika Sumatra dan Kalimantan sudah berdarah-darah, kini ancaman serupa mengintai Papua. Wilayah timur Indonesia ini adalah benteng terakhir hutan tropis alami kita. Hutan di Papua—rumah bagi keanekaragaman hayati yang tak ternilai—seharusnya kita lindungi sebagai aset global.


Namun, plot twist-nya menyakitkan. Satya Bumi menemukan bahwa ada 3,6 juta hektar hutan alam di Papua yang belum terbuka, tapi sudah berada di bawah konsesi kelapa sawit. Apa artinya ini? Itu berarti, Paru-Paru Terakhir Indonesia ini, yang selama ini memberikan kita oksigen gratis, sedang berada dalam daftar tunggu untuk dirobohkan demi memperkaya pundi-pundi. Ini bukan lagi soal ekonomi, melainkan tentang warisan dan kehidupan yang akan kita tinggalkan.


Di tengah situasi genting ini, muncul Regulasi Deforestasi Uni Eropa (EUDR). Peraturan ini menuntut produk impor yang masuk ke pasar Eropa harus bebas deforestasi. Seharusnya, EUDR menjadi cambuk positif agar Indonesia segera berbenah. Bagaimana respons pemerintah kita?


Alih-alih menyambutnya sebagai peluang untuk reformasi tata kelola perkebunan, Pemerintah Indonesia justru melakukan lobi agar EUDR ditunda. Sikap "ogah-ogahan" ini, menurut Satya Bumi, menunjukkan minimnya kemampuan berefleksi dalam sistem pemerintahan. Mengapa ini penting? Karena penundaan ini mengirimkan sinyal ketidakpastian, terutama bagi para petani kecil (smallholders) yang sudah berupaya beradaptasi.


Padahal, EUDR memiliki potensi besar untuk menginklusikan petani kecil. Analisis dari European Forest Institute (EFI) menunjukkan bahwa lebih dari 10 juta petani kecil di Indonesia berpotensi terhubung ke rantai pasok UE jika isu data, legalitas, dan traceability diselesaikan secara sistematis. Program seperti SHINES di Kalimantan Timur sudah membuktikan bahwa petani kecil bisa mendapatkan sertifikasi dan akses pasar internasional.


Penundaan EUDR, yang dilakukan dengan fokus pada lobi alih-alih membangun infrastruktur untuk petani, justru memberikan ruang bernapas bagi praktik deforestasi dan eksploitasi untuk terus berlanjut. Ini menunda reformasi yang amat sangat kita butuhkan untuk perbaikan tata kelola perkebunan yang berkelanjutan.


Komisioner-komisioner Uni Eropa, yang sibuk berdebat soal teknis sistem informasi, mungkin perlu turun langsung ke hutan-hutan di Indonesia. Mereka perlu melihat hamparan kebun sawit yang luas, mendengarkan desahan napas hutan yang hampir mati, dan menilai sendiri: apakah argumentasi teknis itu sebanding dengan penyelamatan sumber oksigen bumi?


Namun, pertarungan ini bukan hanya milik pemerintah atau UE. Ini adalah pertarungan kita. Kita harus sadar bahwa sikap abai terhadap krisis lingkungan, seperti yang diungkapkan Becker, akan membawa kita pada bencana yang tak terhindarkan.


Apa yang harus kita lakukan? Kita harus mendesak pemerintah untuk berhenti berlindung di balik isu nasionalisme dan perang dagang. Kita harus menuntut akuntabilitas yang lebih tinggi dalam tata kelola perkebunan. Jika perusahaan-perusahaan besar dunia seperti Nestle dan Ferrero saja sudah mendorong langkah adaptif untuk melaksanakan EUDR, mengapa negara kita sebagai produsen utama justru menjadi pihak yang menghambat?


Penundaan EUDR, serta sikap tidak akuntabel pemerintah dalam implementasi tata kelola perkebunan berkelanjutan, secara tak langsung membenarkan tudingan global bahwa tata kelola pertanian dan pangan Indonesia eksploitatif, melanggar HAM, dan mendeforestasi hutan.


Pilihan ada di tangan kita, generasi muda. Apakah kita akan menjadi generasi yang hanya bisa menyaksikan kehancuran atau menjadi generasi yang berdiri tegak membela Paru-Paru Terakhir Ibu Pertiwi? Jangan sampai kesadaran datang setelah semua hancur—saat kita hanya bisa berbisik, “Kita tidak menyadari bahwa kita sudah menghancurkan segalanya.” SEKARANG adalah waktu untuk bertindak.

Tidak ada komentar