Ketika Hutan Berganti Tambang, Suara Warga Adat Dibungkam: Kisah Pilu di Maluku Utara
Foto diambil dari akun Instagram @masyarakat_adatmabasangaji
Nyaur.com | Maluku Utara - Gelombang massa itu berdebar, memecah sepi di jantung Maluku Utara. Mereka bukan sekadar orang-orang yang berteriak; mereka adalah suara yang mendesak, menuntut keadilan. Mahasiswa dan warga, bahu-membahu, datang membawa satu luka: kriminalisasi sebelas warga adat Maba Sangaji. Mereka berjuang mati-matian mempertahankan hutan yang jadi napas hidup mereka, tapi yang mereka dapatkan adalah jeruji besi dan kekerasan.
Di tengah riuh rendah teriakan itu, Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, hadir. Ia berdiri di hadapan mereka, gestur lembut seolah ingin meredam amarah. Komentarnya mengalir, "Ada alat tajam, ada bakar membakar mobil polisi..." ucapannya seperti pisau bermata dua. Ia mengaku prihatin, bahkan berjanji mencari cara untuk menafkahi istri dan anak-anak para tahanan.
Dari kacamata orang awam, kata-kata Gubernur itu terdengar manis. Namun, di telinga Tim Advokasi Anti Kriminalisasi (TAKI), itu adalah racun yang dibalut madu.
Seketika, tim advokasi itu bangkit. Mereka menuding pernyataan Gubernur adalah kebohongan publik yang sesat dan tak berdasar. Pertanyaan tajam dilontarkan: "Apakah Gubernur hadir di setiap persidangan? Atau ada 'mulut' yang membisikinya dari balik tirai?"
TAKI tahu persis apa yang terjadi di ruang sidang. Mereka hadir di setiap jengkal proses hukum itu. Di tiga persidangan yang sudah berjalan, saksi-saksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) tak mampu membuktikan tuduhan-tuduhan yang disematkan kepada sebelas warga adat itu. Dakwaan tentang kepemilikan senjata tajam, pembakaran mobil polisi, hingga perampasan, semua menguap tak berjejak.
"Apa yang disampaikan Gubernur itu sangat berbahaya," tegas Lukman Harun, salah satu anggota TAKI. "Seolah-olah warga Maba Sangaji sudah terbukti bersalah."
Ini bukan sekadar salah ucap, ini adalah justifikasi yang sengaja diciptakan. Seolah seorang eksekutif nekat ikut campur dalam ranah yudikatif, mengambil peran hakim, lalu menjustifikasi tuduhan yang bahkan di persidangan sekalipun tak terbukti. Bagi TAKI, ini adalah tamparan telak. Gubernur, yang seharusnya menjadi pelindung rakyatnya, justru terkesan membela korporasi tambang nikel dan menyingkirkan masyarakat adat dari tanah kelahirannya.
Di bagian akhir pidatonya, Gubernur Sherly mencoba lagi mengoyak emosi. Ia menyatakan keprihatinan atas nasib istri dan anak-anak para tahanan. Tapi, bagi tim advokasi, itu hanyalah pengalihan isu yang menjauhkan masalah dari akarnya.
"Gubernur sedang menjauhkan masalah pokok Maba Sangaji," ujar Agung Ilyas, anggota TAKI lainnya. "Masalahnya bukan soal nafkah, tapi soal eksistensi. Ini tentang perjuangan masyarakat adat yang melawan kerakusan tambang nikel yang merusak hutan dan sungai mereka."
Di tengah gemuruh mesin tambang, di bawah langit yang kini keruh, perjuangan warga adat Maba Sangaji adalah jeritan yang meminta didengar. Mereka tidak butuh simpati palsu. Mereka hanya butuh tanah mereka kembali dan keadilan yang utuh.
Karena itu, TAKI menegaskan sikapnya, menuntut:
• Gubernur Maluku Utara segera minta maaf dan mengklarifikasi pernyataannya yang menyesatkan.
• Hentikan pencitraan dan hadapi masalah pokok: perlawanan warga adat terhadap korporasi tambang nikel.
• Cabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Position dan semua IUP lainnya di atas tanah dan hutan adat Maba Sangaji.
• Solidaritas untuk sebelas warga Maba Sangaji yang sedang berjuang di Pengadilan Negeri Soasio!
Bagaimana kita bisa menuntut keadilan, jika para pemimpin kita sendiri tak mampu membedakan mana kebenaran dan mana dusta? (*)
Post a Comment