KontraS Mendesak: Empat Tuntutan Agar September Tak Lagi Berdarah

KontraS Mendesak: Empat Tuntutan Agar September Tak Lagi Berdarah
Foto oleh KontraS

Nyaur.com | Jakarta -
Bulan September. Seolah takdir telah menorehkan tinta kelam di kalender Indonesia, menciptakan sebutan yang begitu pedih: September Hitam. Ini bukan sekadar nama, melainkan monumen duka atas rentetan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang tak terhitung. Sejarah menjadi saksi bisu, dari Gerakan 30 September, tragedi Tanjung Priok, hingga Semanggi II. Puncaknya, ada nama yang tak akan pernah dilupakan: Munir Said Thalib, pejuang HAM yang dibungkam dalam keheningan sebuah pesawat.


Namun, September Hitam bukan hanya kenangan usang. Ia adalah nyala api yang tak pernah padam di hati masyarakat, simbol perlawanan terhadap ketidakadilan yang terus membara. Mereka tak lelah menuntut pertanggungjawaban, berharap keadilan sejati bisa ditegakkan. Tapi, harapan itu hanya menjadi gema kosong. Alih-alih merengkuh keadilan, negara justru seolah memilih jalan yang sama, kembali mengukir luka baru.


Satu demi satu, kita menyaksikan tragedi berulang. Kisah Salim Kancil yang dibunuh dengan kejam, darah yang tumpah saat "Reformasi Dikorupsi," pendeta Yeremia yang tak berdaya di tangan aparat, hingga jeritan rakyat Rempang yang dipaksa meninggalkan rumahnya. Ini adalah cerminan mengerikan, bahwa kekerasan negara tak pernah benar-benar mati. Bahkan, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat, di paruh pertama tahun 2025 saja, lebih dari 500 orang menjadi korban hanya karena berani menyuarakan kebenaran. Mereka ditangkap, diintimidasi, bahkan disiksa.


Suasana semakin mencekam di jalanan, terutama menjelang peringatan September Hitam. Demonstrasi pecah, menumpahkan kekecewaan rakyat atas kebijakan penguasa yang semakin sewenang-wenang. Langit Jakarta dipenuhi amarah, tapi dibalas dengan kepalan tangan. KontraS mencatat, hanya dalam satu bulan, ratusan orang terluka, dan dua nyawa melayang. Salah satunya Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang meregang nyawa, tubuhnya dilindas kendaraan taktis yang seharusnya melindungi.


Di tengah semua ini, negara seolah ingin menghapus jejak hitam yang telah terukir. Proyek penulisan ulang sejarah digulirkan, mencoba memutihkan noda-noda kelam. Seakan tak cukup, mereka juga memberikan gelar pahlawan kepada tokoh-tokoh yang terlibat dalam tragedi masa lalu, seperti Soeharto. Bahkan, Jenderal Kehormatan diberikan kepada Sjafrie Sjamsoeddin, seorang yang disebut bertanggung jawab atas kerusuhan Mei 1998. Sebuah tamparan telak bagi korban dan keluarganya.


Tindakan-tindakan ini bukan sekadar kebetulan. Ini adalah upaya sistematis untuk melanggengkan militerisme, memastikan kekuasaan tetap di tangan yang sama. Ingatlah, sejarah adalah senjata. Dan mereka yang berkuasa paling takut pada ingatan.

KontraS tak akan diam. Mereka percaya, ingatan adalah kekuatan terbesar rakyat. Merawat ingatan adalah ancaman bagi penguasa yang mencoba menutupi kejahatan. Maka, di September ini, KontraS menyerukan:

 • Hentikan kekerasan!

 • Batalkan upaya pemutihan sejarah!

 • Cabut gelar kehormatan bagi para pelanggar HAM!

 • Tuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang tak kunjung selesai!


September Hitam tahun ini bukan hanya sekadar peringatan. Ini adalah momen untuk kita bangkit, melawan lupa, dan memastikan sejarah kelam tidak terulang. Kita adalah ingatan, dan ingatan tak bisa dibungkam.

Tidak ada komentar