MBG Dituding 'Gali Kubur' Hak Pendidikan, Mengapa Akademisi Sampai "Gatel" Bicara Pelanggaran HAM?

MBG Dituding 'Gali Kubur' Hak Pendidikan, Mengapa Akademisi Sampai "Gatel" Bicara Pelanggaran HAM?

Nyaur.com | Jakarta –
Aroma formalitas yang kaku dan pendingin ruangan yang menusuk tulang tak mampu meredam atmosfer panas yang menyelimuti ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis, 11 September 2025. Di tengah ketegangan persidangan uji materiil Undang-Undang Cipta Kerja, sebuah isu yang seharusnya bernuansa "kebaikan"—yaitu Program Makan Bergizi Gratis (MBG)—justru menjadi pemicu perdebatan sengit. Kamera-kamera pers merekam setiap tarikan napas dan kerutan dahi, namun fokus utama sorotan kini beralih dari para penggugat UU omnibus law ke sosok akademisi yang hadir sebagai saksi ahli.


Di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang terhormat, terlihat Herlambang P. Wiratraman, Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), duduk dengan tatapan tajam. Ada semacam kejengkelan yang tak tersembunyi di balik kata-kata yang ia susun. Sosoknya yang biasanya tenang sebagai seorang akademisi kini memancarkan energi perlawanan. Apa yang membuat seorang pakar hukum tata negara sampai terlihat "agak kesal" di panggung konstitusi? Jawabannya ternyata tersembunyi dalam sebuah konstruksi hukum yang dianggapnya salah kaprah: menyamakan program MBG dengan kepentingan umum dan melanggar konsep "Progresif Realisasi" hak asasi manusia.


Herlambang P. Wiratraman, dalam pemaparannya, secara lugas membedah makna kepentingan umum yang dijadikan landasan program-program prioritas pemerintah, termasuk Proyek Strategis Nasional (PSN) dan kini Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Menurut Herlambang, anggapan bahwa MBG adalah realisasi dari right to food atau hak atas pangan adalah pemahaman yang dangkal, bahkan berpotensi menjadi bumerang konstitusi. Ia mengatakan, sejauh ini belum ada pihak yang berani secara terbuka menyebutkan bahwa program MBG merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Pernyataan ini sontak memecah kesunyian formal di ruang sidang.


Mengapa Herlambang begitu berani melontarkan tudingan serius ini? Herlambang mempertanyakan, mengapa prioritas anggaran negara yang begitu besar justru dialokasikan untuk MBG, sementara sektor pendidikan yang menjadi hak dasar warga negara terus-menerus terbebani biaya tinggi?


“Kenapa bukan pendidikan gratis untuk seluruh warga negara Indonesia?” tanya Herlambang dengan nada yang sedikit meninggi, retoris namun penuh makna. Ia mempertanyakan, mengapa MBG menguras sumber daya ekonomi, terutama anggaran, yang tidak pernah dialokasikan secara penuh untuk pendidikan gratis sampai perguruan tinggi, sehingga mahasiswa tidak perlu membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT)? Pertanyaan ini menyentuh urat nadi permasalahan yang dialami banyak orang tua yang saat ini mengeluh perihal tingginya biaya pendidikan.


"Bahkan banyak orang tua mengeluh tidak bisa bayar sekolah dan contohnya banyak sekali. Tinggal cek di media sosial," terangnya, membalikkan argumen pemerintah dari ruang sidang berpendingin ke realitas keras di lini masa media sosial anak-anak muda dan orang tua. Ia menilai, gara-gara MBG, anggaran pendidikan justru dialihkan secara signifikan, sehingga mengakibatkan fasilitas pendidikan di berbagai daerah berkurang atau bahkan tidak tersentuh perbaikan.


Di sinilah letak sudut pandang Herlambang yang jarang dilirik orang. Ia menjelaskan, kritik kerasnya ini berpijak pada konsep hukum hak asasi manusia internasional, yaitu “progresif realizations”. Konsep ini, menurut Herlambang, tertanam kuat dalam Pasal 28 i ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945, terutama pada kata kunci "pemajuan".


Bagaimana Herlambang menafsirkan pasal pemajuan di dalam UUD 1945 ini? Ia menjelaskan, penafsiran pasal pemajuan tersebut harus dikaitkan dengan Progresif Realisasi yang termaktub dalam Pasal 2 ayat 1 Kovenan Internasional Hak Ekonomi Sosial Budaya.


Herlambang P. Wiratraman menegaskan, progresif realizations menjadi kunci untuk mengembangkan pembangunan di Indonesia secara konstitusional. Sebab, negara menyadari betul bahwa sumber daya anggaran itu terbatas. Karena keterbatasan sumber daya ini, maka diperlukan tahapan yang benar dalam pemenuhan hak-hak dasar warga negara.


"Maka konstruksi hukum hak asasi manusia mengatakan, bertahaplah, taking steps, ambil langkah-langkah, maximizing available resources, memaksimalkan sumber daya dengan cara progresif, maju dengan legislative measures. Itu poinnya," tutup Herlambang, memberikan penekanan bahwa pemenuhan hak harus dilakukan secara bertahap dan terukur, bukan dengan mengorbankan satu hak dasar (pendidikan) demi hak dasar lainnya (pangan) melalui program yang mendadak menguras anggaran.


Herlambang P. Wiratraman mengajukan solusi konkret, bahwa Presiden harus segera menghentikan program MBG sekarang juga dan melakukan evaluasi menyeluruh terhadapnya. Sebab, program tersebut, jika dilihat dari kacamata kepentingan umum dalam konstitusi, sudah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) jauh sebelum malapetaka lain yang mungkin ditimbulkannya pada anak-anak.


Kritik tajam dari Dosen UGM ini bukan sekadar polemik anggaran, melainkan pengingat fundamental bagi negara: sebuah program yang diklaim sebagai 'kebaikan' tidak boleh dibangun di atas pengabaian hak dasar warga negara yang dijamin oleh konstitusi, apalagi jika itu adalah masa depan generasi muda melalui pendidikan.


Menurutmu, seberapa penting negara harus mendahulukan pendidikan gratis daripada program makan gratis, jika dilihat dari kerangka pemenuhan hak asasi manusia yang progresif?

Tidak ada komentar