Satu Tahun 'Gelap' dalam Kasus Kekerasan Pers Papua, Kapan Keadilan Terungkap?
Nyaur.com | Jayapura – Setahun sudah, bayangan asap dan kobaran api masih terasa menyelimuti kantor redaksi Jubi di Waena, Kota Jayapura. Tepat pada Kamis, 16 Oktober 2025, suasana haru dan penuh ketidakpastian memuncak di depan gerbang kantor media independen ini.
Bukan perayaan ulang tahun, melainkan sebuah peringatan pahit: satu tahun berlalu tanpa kejelasan atas insiden pelemparan bom molotov yang membakar dua mobil operasional Jubi pada dini hari 16 Oktober 2024. Aksi damai yang digelar Koalisi Advokasi Keadilan dan Keselamatan Jurnalis Papua (Koalisi Advokasi) menjadi refleksi pilu, menyuarakan jeritan keadilan yang terasa membentur dinding bisu. Pertanyaan besarnya: Mengapa kasus kekerasan terhadap jurnalis ini seperti sengaja dibiarkan "jalan di tempat"?
Di tengah sorotan matahari Papua yang menyengat, Pimpinan Redaksi Jubi, Jean Bisay, mengungkapkan perasaan frustrasi dan kekecewaan Koalisi Advokasi kepada publik. Ia berdiri tegak, memimpin seruan yang seharusnya tak perlu diulang-ulang.
"Kami memperingati satu tahun kasus bom molotov ke kantor dan rumah kami hari ini, 16 Oktober 2025," kata Bisay dengan nada tegas. Ia menekankan bahwa hingga detik ini, proses hukum atas insiden yang mengancam nyawa dan kebebasan pers tersebut belum menunjukkan perkembangan berarti. "Masih jalan di tempat. Kami minta kepolisian dan TNI segera mengumumkan dua terduga pelaku yang disebut dalam penyidikan serta penyelidikan," pintanya.
Renungkan, kawan! Sudah 365 hari berlalu sejak malam mencekam itu, ketika dua benda yang diduga bom molotov dilemparkan ke halaman kantor redaksi di Jalan SPG Taruna Bakti. Dua mobil ludes dilahap api, menyisakan trauma mendalam dan pertanyaan besar: siapa yang berani-beraninya menyerang pilar demokrasi dengan cara brutal ini, dan apa motif di baliknya?
Para jurnalis dan pegiat pers ini merasa seperti sedang memecahkan teka-teki yang kuncinya dipegang oleh pihak berwenang. Bisay menguraikan bahwa perkembangan terakhir kasus ini—tertuang dalam Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) yang diterima pada 14 Agustus 2025—hanya menyebutkan rencana gelar perkara bersama Polda Papua dan Kodam XVII/Cenderawasih. Ironisnya, hingga kini, tindak lanjutnya masih nihil.
"Kami belum menerima penjelasan resmi tentang hasil penyidikan lanjutan itu. Kasus ini seperti berhenti di tempat. Kami tidak tahu bagaimana perkembangan di Polda maupun Kodam," ujar Bisay, menggambarkan situasi yang terasa gelap dan buntu.
Simon Baab, Sekretaris Koalisi Advokasi Jurnalis Papua, menyebut lambannya penanganan ini sebagai sinyal bahaya. Menurutnya, hal ini menunjukkan lemahnya komitmen aparat dalam melindungi kebebasan pers di Papua.
"Kami sudah datangi hampir semua instansi—DPR, Kodam, sampai ke pusat. Tapi sampai hari ini tidak ada reaksi nyata," keluh Simon. Ia mengingatkan bahwa dalam pertemuan di DPR Papua setahun lalu, lembaga legislatif itu sempat mendesak aparat menuntaskan kasus. Namun, janji tinggal janji.
Koalisi Advokasi ternyata tidak tinggal diam. Mereka telah membawa kasus ini hingga ke tingkat nasional, termasuk kepada Dewan Pers dan rencana audiensi ke Komisi III DPR RI. Namun, hasilnya? Tetap nihil.
"Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu sempat datang ke Jayapura dan berjanji akan menindaklanjuti kasus ini ke Kapolri, tetapi sampai sekarang hasilnya juga nihil," ungkap Bisay.
Kasus ini adalah gambaran nyata betapa rumit dan berliku perjuangan untuk mengungkap kebenaran di Papua. Upaya hukum dan advokasi yang dilakukan secara sistematis seolah-olah berbenturan dengan tembok tebal.
Simon Baab menegaskan bahwa Koalisi tidak akan mundur. Mereka akan terus menuntut pengungkapan dua nama pelaku yang telah disebut dalam rapat DPR Papua. "Indikasi dua orang pelaku itu sudah jelas dari awal. Jadi Polda harus umumkan ke publik. Kalau memang tidak terkait jaringan berbahaya, kenapa disembunyikan? Jangan sampai ada kesan aparat melindungi pihak tertentu," tegasnya, menggarisbawahi dugaan bahwa ada upaya melindungi sosok di balik serangan.
Serangan bom molotov adalah tindakan intimidasi yang paling brutal, bukan hanya merugikan Jubi, tetapi juga mengancam kebebasan berpendapat kita semua. Jurnalis, terutama di Papua, sering menjadi target karena karya mereka yang kritis dan berani mengangkat isu-isu sensitif, seperti pelanggaran HAM, lingkungan, hingga kebijakan pemerintah.
"Kami tidak mau kantor redaksi mana pun di Papua diintimidasi dengan cara-cara seperti ini. Ini melanggar Undang-Undang Pers," tandas Simon. Ia mengingatkan bahwa UU Pers sudah menyediakan saluran pengaduan jika ada pihak yang tidak puas dengan pemberitaan, bukan dengan cara kekerasan.
Koalisi Advokasi Keadilan dan Keselamatan Jurnalis di Tanah Papua menyatakan bahwa mereka akan terus mengawal proses hukum dan mendesak aparat penegak hukum segera menuntaskan penyelidikan. Tujuan utamanya: agar pelaku dapat diadili dan memberikan efek jera terhadap kekerasan terhadap jurnalis di Papua.
Kasus ini adalah ujian nyata bagi komitmen negara dalam melindungi kebebasan pers. Selama pelaku di balik api dan asap molotov itu tidak diungkap, selama itu pula keadilan di Papua akan terasa redup. Generasi muda perlu tahu, karena kebebasan pers adalah napas demokrasi, dan ketika napas itu terancam, masa depan kita pun dipertaruhkan.
Post a Comment