Kenapa Anak-Anak Bukan Konten, dan Mengapa Kalian Harus Berhenti Jadi Voyeur Digital!
Nyaur.com | Malaysia — Pernahkah kau berhenti sejenak, di tengah malam yang sunyi, jarimu otomatis terus scroll di Instagram, TikTok, atau X, dan tiba-tiba sebuah unggahan menusuk mata? Unggahan itu adalah berita miris, potret pilu, atau bahkan rekaman momen terburuk dalam hidup seorang anak di bawah umur. Kamu mungkin tidak berniat mencari, tapi konten itu muncul—viral—mengundang rasa penasaran. Kita semua pernah terperangkap dalam suasana dan kondisi ini, saat rasa ingin tahu yang berlebihan mendominasi ruang digital kita, mengubah penderitaan menjadi sebuah komoditas, sebuah cerita yang 'wajib' dilihat.
Tapi coba jujur, saat mata kita melekat pada layar, mencari detail demi detail tragis, kita sebenarnya sedang berkontribusi dalam krisis yang lebih dalam, yang tersembunyi di balik notifikasi. Kita, sebagai generasi digital native yang katanya paling peduli, sedang menyaksikan dan bahkan memperparah erosi empati kolektif kita. Kasus-kasus terbaru di Malaysia—dan di mana saja—yang menyeret anak-anak ke dalam pusaran wacana publik adalah cermin retak yang menampakkan wajah budaya online kita: budaya voyeurisme digital yang semakin dinormalisasi.
Dunia kita hari ini dibentuk oleh teknologi, dan sayangnya, garis batas antara kesadaran isu dan eksploitasi keji kini kabur. Hasrat untuk "tahu," "lihat," atau "berbagi" sebuah kasus yang melibatkan anak, seringkali berjalan tanpa mempertimbangkan siapa yang tersakiti dalam prosesnya. Korban-korban kecil itu bukan lagi manusia dengan trauma mendalam; mereka hanya menjadi trending topic, menjadi "konten" untuk dianalisis, dikomentari, bahkan disebarkan ulang.
Krisis etika digital ini jauh lebih berbahaya dari yang kita kira. Partisipasi kita, meski hanya sekadar 'berdiam diri' atau 'ingin tahu', bukanlah hal yang pasif. Sebaliknya, kita mendukung adanya kekerasan digital yang lebih luas, memberikan panggung bagi mereka yang mengeksploitasi dan menormalisasi pelecehan. Setiap like, setiap komentar yang memohon detail, setiap share yang 'mengedukasi' tapi tanpa filter yang benar, adalah batu bata yang kita letakkan untuk membangun dinding aib dan trauma bagi anak-anak tersebut.
Siapa yang harus bertanggung jawab? Bukan hanya para pembuat konten keji, tapi juga kita sebagai pengguna. Editor berita profesional melihat bahwa fokus utama tidak hanya pada penghapusan grup online yang memfasilitasi seksualisasi atau eksploitasi anak di bawah umur. Lebih dari itu, kita harus meminta pertanggungjawaban semua pihak yang terlibat, termasuk pengguna pasif.
Apa yang terjadi jika kita tidak bertindak? Budaya ini akan terus berakar, dan anak-anak akan terus menjadi korban abadi di internet. Partisipasi yang terkesan 'pasif' ini sangat berbahaya, karena mendorong permintaan akan konten semacam itu dan secara perlahan menormalkan pelecehan. Ini adalah siklus brutal yang hanya bisa dipatahkan oleh kesadaran kolektif.
Mengapa Malaysia (atau negara mana pun dengan masalah serupa) butuh kerangka kerja digital yang lebih kuat? Karena kerugiannya tidak hanya disebabkan oleh pembuatan konten yang kasar, tetapi juga oleh permintaan yang datang dari audiens—yaitu kita.
Langkah-langkah nyata yang harus dilakukan melibatkan berbagai pihak, mulai dari pembuat kebijakan hingga ke platform yang kita gunakan setiap hari:
* Penegakan Hukum yang Lebih Keras: Pemerintah harus menegakkan hukum yang jauh lebih ketat terhadap mereka yang meminta atau mendistribusikan materi yang melibatkan anak di bawah umur. Demand harus dihukum sekeras supply.
* Tanggung Jawab Platform Digital: Media sosial dan layanan pesan seperti WhatsApp atau Telegram perlu diwajibkan untuk bertindak jauh lebih cepat dalam mengidentifikasi dan menghapus konten berbahaya. Jangan sampai algoritma lebih cepat dari empati.
* Investasi dalam Edukasi Empati: Kita butuh kampanye nasional dan upaya edukasi yang masif tentang Empati Digital, persetujuan (consent), dan keterlibatan etis di semua lini, tidak hanya di bangku sekolah, tapi juga di ruang kerja, dan bahkan di obrolan grup keluarga.
Melindungi anak di bawah umur berarti lebih dari sekadar bereaksi terhadap kasus individu. Hal itu membutuhkan pembongkaran budaya yang membiarkan penderitaan mereka menjadi tontonan publik, menjadi clickbait yang menguntungkan.
Setiap kali kita terlibat dalam diskusi online tanpa hati nurani, tanpa filter belas kasih, kita berisiko memperbesar kerugian anak tersebut dan, yang lebih buruk, kita mengajarkan generasi yang lebih muda bahwa empati adalah sebuah pilihan, bukan sebuah keharusan.
Di mana perubahan ini harus dimulai? Di ponselmu, di jempolmu, dan di hati nuranimu. Ruang digital harus diatur tidak hanya oleh aturan platform, tetapi juga oleh hati nurani, sebuah komitmen kolektif untuk merespons dengan hati-hati, terkendali, dan manusiawi. Anak-anak bukanlah konten. Mereka adalah masa depan yang layak mendapatkan ruang aman, bukan trending topic yang menyakitkan. Mulai hari ini, jadilah bagian dari solusi. Scroll dengan hati.
Post a Comment