Jaga Tanah Leluhur Maluku Utara, 11 Pejuang Adat Maba Sangaji Dipenjara
Nyaur.com | Tidore Kepulauan — Pernahkah kalian membayangkan, di tahun 2025 ini, membela rumah sendiri, menjaga air yang kalian minum, dan mempertahankan pohon yang menaungi, justru berujung pada dinginnya jeruji besi? Hari ini, cerita pilu itu datang dari Maba Sangaji, Halmahera Timur, Maluku Utara. Inilah realitas pahit yang mengirimkan pesan mengerikan: di Indonesia, membela lingkungan bisa dianggap kriminal, sedangkan merusaknya dibela negara.
Tanggal 16 Oktober 2025 menjadi hari yang kelam bagi keadilan. Pengadilan Negeri Soasio, Kota Tidore Kepulauan, baru saja menjatuhkan vonis penjara kepada sebelas (11) warga adat Maba Sangaji. Kejahatan mereka? Bukan korupsi miliaran, bukan perampokan, melainkan karena mereka berani berdiri tegak melawan raksasa tambang nikel PT Position yang telah "menggerogoti" hutan adat, mencemari sungai, dan merusak kebun mereka. Ini adalah tamparan keras bagi kemanusiaan, bagi kita semua yang percaya bahwa alam adalah hak, bukan komoditas. Mari kita bongkar tuntas drama ketidakadilan ini.
Sebelas warga masyarakat adat Maba Sangaji—termasuk di antaranya Sahrudin Awat (Udin), Jamaludin Badi (Jamal), dan Sahil Abubakar (Ilo)—divonis bersalah. Mereka adalah petani, penjaga hutan, dan pewaris tanah leluhur.
Mereka divonis hukuman penjara 5 bulan 8 hari. Ada pula yang dipenjara hingga 2 bulan. Vonis ini dijatuhkan karena tuduhan "perintangan atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan" berdasarkan Pasal 162 Undang-Undang Minerba. Pasal ini, yang sering dikritik karena pro-korporasi, kini menjadi senjata untuk membungkam rakyat kecil.
Kriminalisasi ini bermula pada 18 Mei 2025, saat 27 warga menggelar ritual adat sebagai bentuk protes. Puncaknya adalah sidang putusan pada 16 Oktober 2025.
Kasus ini berawal di Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, lokasi konsesi tambang nikel PT Position. Sidang putusan digelar di Pengadilan Negeri Soasio, Kota Tidore Kepulauan.
Mereka memprotes karena aktivitas pertambangan nikel PT Position telah merusak lingkungan, sumber air, dan ruang hidup masyarakat adat. Bagi mereka, hutan, sungai, dan tanah adalah bagian dari identitas dan keberlangsungan hidup, bukan sekadar "lahan kosong" untuk dieksploitasi. Protes adalah bentuk pembelaan hidup, bukan tindakan kriminal.
Awalnya, mereka menggelar ritual adat, sebuah ekspresi budaya damai. Namun, aparat kepolisian justru menangkap seluruh peserta, menuduh mereka "premanisme" dan membawa senjata tajam. Proses interogasi berjalan janggal: tanpa pendampingan hukum, sidik jari diambil paksa, hingga dugaan pemukulan dan pemaksaan tanda tangan dokumen. Inilah cerminan bagaimana kekuasaan dan modal dapat membelokkan proses hukum.
Coba sejenak kalian renungkan: udara yang kalian hirup, air jernih yang mengalir dari pegunungan, tempat kakek-nenekmu dikebumikan. Semua itu dirusak atas nama "pembangunan" dan "investasi". Saat kau, dengan segala keterbatasanmu, berjuang mempertahankan warisan suci itu, bukannya dilindungi, kamu malah dicap kriminal.
Inilah yang dirasakan Udin, Jamal, Ilo, dan kawan-kawan. Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Kriminalisasi Masyarakat Adat Maba Sangaji menilai, vonis ini adalah "simbol betapa jauh keadilan berpihak pada modal, bukan pada manusia dan lingkungan." Bagaimana mungkin Pasal 162 UU Minerba—yang mengkriminalisasi penolakan tambang—dibiarkan menjadi alat represi? Ini mengirimkan pesan yang sangat berbahaya bagi generasi kita yang peduli iklim dan lingkungan: diamlah, atau kami penjarakan!
Kita tidak bisa menutup mata. Vonis ini menambah daftar panjang serangan terhadap masyarakat adat di Indonesia. Amnesty International mencatat, antara 2019-2024, setidaknya ada serangan terhadap 111 korban dari masyarakat adat. Ini bukan insiden tunggal, ini adalah pola sistematis. Kriminalisasi masyarakat adat adalah kata kunci yang relevan, sebuah realitas pahit yang harus kita lawan.
Yang jarang dilirik dalam kasus ini adalah: ritual adat yang mereka lakukan. Bagi masyarakat adat Maba Sangaji, ritual itu bukan demonstrasi anarkis, melainkan ekspresi budaya dan spiritual. Itu adalah cara mereka berkomunikasi dengan leluhur, memohon perlindungan bagi alam yang mereka jaga.
Namun, di mata hukum yang berpihak pada korporasi, ekspresi spiritual itu diartikan sebagai "perintangan" yang harus dihentikan dengan penangkapan dan tuduhan berlapis: dari senjata tajam hingga pemerasan. Tuduhan-tuduhan yang dinilai Koalisi mengada-ada dan jelas digunakan untuk membungkam perlawanan yang damai.
Proses hukumnya pun penuh kejanggalan, menguatkan dugaan bahwa ini adalah kriminalisasi murni. Bagaimana mungkin warga dipaksa tes urine non-prosedural, sidik jari diambil paksa, dan diinterogasi tanpa pendampingan hukum? Negara, yang seharusnya menjadi pelindung, justru berdiri di pihak perusahaan, menggunakan hukum untuk menindas.
Seruan untuk Generasi Peduli (Takeaways)
Koalisi Masyarakat Sipil, yang terdiri dari berbagai organisasi peduli HAM dan lingkungan, telah bersuara lantang. Mereka menuntut:
* Pembebasan tanpa syarat bagi 11 warga Maba Sangaji.
* Pemulihan nama baik dan hak-hak hukum mereka.
* Penghentian segala bentuk intimidasi terhadap masyarakat adat.
* Peninjauan kembali Pasal 162 UU Minerba yang terbukti represif.
* Tanggung jawab negara dan perusahaan untuk memulihkan kerusakan lingkungan.
Kasus Maba Sangaji adalah panggilan darurat bagi kita, yang lantang menyuarakan isu lingkungan dan keadilan sosial. Ini tentang hak asasi manusia, hak untuk hidup damai di tanah sendiri. Jangan biarkan keadilan menjadi komoditas yang hanya bisa dibeli oleh korporasi besar.
Tugas kita sekarang adalah: BERSUARA. Viralkan cerita ini! Tuntut pertanggungjawaban! Sebab, jika pejuang lingkungan dibungkam, maka masa depan kita—masa depan planet ini—sedang terancam. Mari tunjukkan bahwa kekuatan kita lebih besar dari Pasal 162 UU Minerba.
Post a Comment