Saat Food Estate Gagal & Militer 'Mengatur' Piring Nasi Kita, Kedaulatan Pangan Sekarat

Saat Food Estate Gagal & Militer 'Mengatur' Piring Nasi Kita, Kedaulatan Pangan Sekarat

Nyaur.com | Jakarta —
Setiap tanggal 16 Oktober, kita ramai-ramai posting soal Hari Pangan Sedunia. Sebuah perayaan global soal makanan. Kita bicara soal gizi, soal jangan buang-buang makanan. Tapi di balik feed Instagram yang estetik dan kampanye yang catchy, ada ironi besar yang terjadi di negeri agraris ini. Di saat kita seharusnya merayakan hasil bumi, petani kita, nelayan kita, dan masyarakat adat—orang-orang yang seharusnya jadi subjek utama—justru semakin tersingkir dari piring nasi mereka sendiri.


Konstitusi kita sudah menjamin hak rakyat atas pangan yang cukup, sehat, dan bergizi. Tapi apa kenyataannya? Kebijakan "Swasembada Pangan" yang digembar-gemborkan, dalam praktiknya, malah terasa seperti pesta untuk korporasi besar. Pangan diubah dari hak hidup menjadi komoditas. Yang lebih bikin kaget, ada aroma sepatu lars militer yang makin pekat dalam urusan dapur kita. Kita dijauhkan dari "kedaulatan pangan", kondisi di mana kita—rakyat—yang pegang kendali atas makanan kita sendiri.


Mari kita bedah masalahnya. Sejak 1979, dunia memang lebih sering bicara "ketahanan pangan" (food security) ketimbang "kedaulatan pangan" (food sovereignty). Apa bedanya? "Ketahanan" fokusnya cuma satu: makanan harus ada. Titik. Caranya? Terserah pasar bebas. Kalau di dalam negeri mahal atau langka, ya impor. Simple buat pengambil kebijakan, tapi bencana buat produsen lokal.


Di Indonesia, UU Pangan kita (UU No. 18/2012) memakai kata kunci 'terpenuhinya pangan'. Terdengar bagus, kan? Tapi 'terpenuhi' ini ditafsirkan sebagai 'terpenuhi oleh mekanisme pasar'. Ini memberi lampu hijau bagi impor untuk menekan harga, sekaligus menggerogoti petani lokal. Harga gabah mereka hancur digilas beras impor.


Di sinilah "rezim pangan korporat" masuk. Korporasi raksasa, dengan modal triliunan, lahan ribuan hektar yang monokultur (satu jenis tanaman saja), dan pupuk kimia dosis tinggi, jadi pemain utama. Mereka didukung teknologi modern dan pasar bebas. Petani kecil, nelayan tradisional? Mereka dipaksa jadi penonton di tanah mereka sendiri, kehilangan lahan, dan terjerat utang.


Lihat saja proyek ambisius Food Estate. Dengan dalih menjawab krisis pangan pakai cara "efisien" dan "produktif", negara justru menciptakan krisis baru. Lahan-lahan gambut masif di Kalimantan Tengah hingga Merauke dibuka paksa.


Apa hasilnya? Jauh panggang dari api. Pemantauan FIAN Indonesia dan Pantau Gambut mengungkap fakta pahit. Di Kalimantan Tengah, negara dianggap gagal total menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas pangan rakyat. Lahan gambut yang harusnya jadi spons penyimpan karbon, malah dirusak. Masyarakat adat terusir dari tanah leluhur mereka. Alih-alih jadi lumbung padi nasional, proyek ini malah jadi "bom karbon" yang siap meledak lewat kebakaran hutan dan lahan. Gagal terang-terangan, tapi kok ya masih mau diperluas?


Belum selesai soal Food Estate, kita kini disuguhi program baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto: Makan Bergizi Gratis (MBG). Niatnya mungkin mulia, menjamin gizi anak-anak. Tapi, Koalisi Tolak MBG melihatnya sebagai proyek populis yang jadi kendaraan politik.


Masalahnya, program ini dikelola secara terpusat (sentralistik), tanpa partisipasi publik, dan tidak jelas transparansi anggarannya. Siapa yang akan jadi pemasok bahan bakunya? Apakah petani dan peternak lokal di sekitar sekolah akan dilibatkan untuk menghidupkan ekonomi mereka? Atau jangan-jangan, ini jadi ladang basah baru bagi elite politik dan jaringan bisnis kroni mereka?


Kecurigaan ini makin kuat kalau kita lihat tren "militerisasi pangan." Pangan dianggap isu ketahanan nasional, jadi wajar militer ikut campur. Well, nggak gitu juga. Kita lihat PT Agrinas Palma Nusantara, perusahaan yang diambil alih dan dikelola unsur militer, justru dilaporkan gagal memenuhi hak-hak buruhnya. Kita lihat Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) yang malah bikin konflik agraria makin panas dengan dugaan intimidasi aparat. Saat pangan diurus pakai logika komando, yang kenyang bukan rakyat, tapi potensi konflik kepentingan dan korupsi.


Di tengah semua proyek raksasa yang maskulin dan militeristik ini, ada korban yang sering tak terlihat: perempuan.


Padahal, secara historis, perempuan adalah manajer pangan di rumah dan komunitas. Merekalah yang menjaga benih lokal, mereka yang tahu cara mengolah pangan saat krisis. Mereka adalah garda terdepan kedaulatan pangan.


Bayangkan perjuangan luar biasa perempuan di Sumba, Nusa Tenggara Timur. Saat kemarau panjang datang dan gagal panen melanda, mereka literally mengolah ubi beracun (dikenal sebagai uwi atau iwi) melalui proses yang rumit agar bisa dimakan dan bertahan hidup. Ini adalah kearifan lokal level dewa! Hal serupa dilakukan perempuan di Kulon Progo dengan pertanian lestari dan kalender tanam tradisional mereka.


Tapi apa kata kebijakan? Pengetahuan mereka diabaikan. Hadirnya UU Cipta Kerja yang pro-investasi dan membuka keran impor selebar-lebarnya, makin menyingkirkan perempuan. Solidaritas Perempuan (2025) mencatat, setidaknya 3.624 perempuan di 57 desa mengalami pemiskinan akibat sistem yang patriarkal ini. Mereka kehilangan tanah, akses air bersih, dan hak bersuara. Krisis pangan, pada intinya, adalah krisis gender.


Parahnya lagi, kita tidak hanya 'dirusak' dari dalam, tapi juga 'dikunci' dari luar. Krisis ini bukan cuma soal produksi, tapi soal siapa yang menguasai sistem pangan global.


Saat ini, Indonesia sibuk bernegosiasi dalam perjanjian dagang bebas seperti I–EU CEPA (dengan Uni Eropa) atau kesepakatan dagang dengan Amerika Serikat. Ancaman terbesarnya? Kita bisa dipaksa bergabung dengan Konvensi UPOV 1991.


Kalau ini terjadi, korporasi benih raksasa bisa memonopoli dan mematenkan benih. Petani kita, yang ribuan tahun terbiasa menyimpan, menukar, dan memuliakan benih lokal warisan nenek moyang, bisa dikriminalisasi. Belum lagi ancaman banjir produk pertanian impor dari AS yang bebas bea masuk. Petani lokal kita mau bersaing bagaimana? Ini adalah kontradiksi nyata: teriak "swasembada", tapi tangan kita diikat oleh liberalisasi pasar.


Di Hari Pangan Sedunia ini, kita harus sadar. Masalah kita bukan sekadar perut lapar. Masalah kita adalah sistem yang korup, patriarkal, dan militeristik yang membelenggu pangan kita.


Koalisi PACUAN telah bersuara lantang. Mereka menuntut:

 * Tegakkan Kedaulatan Pangan. Kembalikan tanah ke rakyat lewat reforma agraria sejati.

 * Stop militerisasi sektor pangan.

 * Hentikan dan evaluasi total proyek Food Estate dan MBG.

 * Jamin transparansi dan akuntabilitas semua program pangan.

 * Lindungi hak petani, nelayan, masyarakat adat, dan perempuan atas tanah dan air.

 * Libatkan mereka dalam setiap pengambilan kebijakan.

 * Sikat habis korupsi dan konflik kepentingan di tata kelola pangan.

 * Hentikan perusakan gambut.

 * Stop liberalisasi pertanian yang membunuh petani kecil.


Krisis pangan ini adalah soal keadilan. Selama pangan masih diperlakukan sebagai komoditas politik dan alat transaksi kekuasaan, rakyat akan terus lapar. Bukan karena mereka gagal menanam, tapi karena hak-hak mereka dirampas. 

Tidak ada komentar