165 Bukti dan 6 Suara Korban Dibawa ke Meja Hakim MK Melawan UU Cipta Kerja

165 Bukti dan 6 Suara Korban Dibawa ke Meja Hakim MK Melawan UU Cipta Kerja

Nyaur.com | Jakarta —
Lo bayangin, hari ini lo datang ke sebuah gedung paling berkuasa di negeri ini, Mahkamah Konstitusi. Di tangan lo, bukan cuma setumpuk kertas biasa, tapi dokumen yang beratnya kayak nasib ribuan orang. Dokumen itu berisi tangisan, amarah, dan harapan. Itulah yang baru saja dilakukan oleh Koalisi Gerakan Rakyat Menggugat Proyek Strategis Nasional (GERAM PSN). Mereka secara resmi menyerahkan kesimpulan akhir untuk perkara yang bisa jadi game-changer banget: Gugatan Nomor 112/PUU-XXIII/2025.


Ini bukan drama FTV. Ini pertarungan nyata. Yang digugat adalah "roh" dari Proyek Strategis Nasional (PSN) yang ada di dalam UU Cipta Kerja (UU Nomor 6 Tahun 2023). GERAM PSN menuduh bahwa pasal-pasal soal "kemudahan dan percepatan PSN" itu udah jadi senjata legal. Senjata yang dipakai untuk menyingkirkan hak-hak masyarakat adat, petani, dan nelayan atas tanah mereka. Senjata untuk merusak lingkungan hidup atas nama "pembangunan".


Untuk membuktikan omongan mereka, GERAM PSN nggak main-main. Mereka nggak datang dengan tangan kosong. Mereka memboyong total 165 bukti surat yang detailnya bikin merinding. Bayangin, setebal apa dokumen yang memuat bukti-bukti itu. Tapi, yang paling menusuk jantung adalah lampiran berikutnya: kesaksian langsung dari 6 korban yang hidupnya diobrak-abrik oleh PSN. Suara mereka yang selama ini mungkin tenggelam, kini akan didengar langsung oleh delapan Hakim Konstitusi.


Nggak cuma itu, barisan "otak" di belakang gugatan ini juga solid. Ada 10 ahli dari berbagai bidang—hukum, lingkungan, sosial—yang memberikan analisis tajam mereka. Gugatan ini juga diperkuat oleh keterangan resmi dari Komnas HAM dan Komnas Perempuan, yang notabene adalah lembaga negara. Seakan belum cukup, ada 20 surat amicus curiae (sahabat peradilan) yang masuk. Ini artinya, banyak banget akademisi dan organisasi kredibel di luar sana yang merasa concern dan ikut "nimbrung" ngasih pendapat hukum saking pentingnya kasus ini.


"Dari semua sidang, kami berhasil membuktikan satu hal penting," tegas Muhamad Isnur, Ketua Umum YLBHI. "Pasal-pasal yang kami gugat ini, terbukti di ruang sidang, bermasalah secara norma. Ini bukan cuma masalah implementasi di lapangan yang salah, tapi hukumnya yang dari awal memang sudah cacat."


Ini poin krusialnya. Selama ini, kalau ada masalah PSN, pemerintah mungkin bilang, "Oh, itu cuma oknum di lapangan yang nakal." Tapi GERAM PSN bilang, "Bukan!"


Menurut mereka, masalah mendasarnya ada di desain hukumnya. UU Ciptaker, kata mereka, telah sengaja menciptakan tatanan hukum baru. Tatanan ketika efisiensi ekonomi dan cuan investasi ditempatkan di atas segalanya. Di atas keadilan ekologis. Di atas hak asasi manusia.


Gimana ceritanya? Dengan dalih "percepatan investasi", UU ini memberikan kewenangan super luas bagi pemerintah untuk mengambil alih wilayah warga. Prosesnya cepat, tanpa ada persetujuan yang meaningful dari warga yang sudah tinggal di sana turun-temurun. Aturan perlindungan lingkungan hidup yang tadinya ketat, jadi "dikorting" dan diabaikan.


"Kebijakan PSN ini jelas abai pada kewajiban negara untuk melindungi lingkungan," ujar Boy Jerry Even Sembiring. "Mereka nggak boleh memperlemah perlindungan alam kita, entah itu di Rempang, di Sulawesi Tenggara, atau di mana pun. Bagi kami, kebijakan yang melegalkan kerusakan lingkungan itu sama saja dengan menghilangkan hak konstitusi kita. Menjaga lingkungan itu sama dengan menjaga HAM dan Konstitusi."


Kalau ini semua terdengar terlalu teori, mari kita lihat faktanya di lapangan. GERAM PSN mencatat berbagai dugaan pelanggaran HAM berat terjadi di bawah payung hukum PSN ini.


Masih ingat Vincent Kwipalo di Merauke? Dia adalah warga adat yang menolak menjual tanah ulayat (tanah warisan leluhur) marganya untuk dijadikan proyek food estate (lumbung pangan nasional) yang merupakan PSN. Apa yang dia dapat? Kekerasan.


Atau cerita yang lebih viral: Rempang. Kita semua melihat video-videonya. Pengerahan aparat secara masif. Kekerasan. Gas air mata yang bahkan sampai ke sekolah. Semua itu dilakukan untuk "membersihkan" perkampungan warga demi percepatan investasi di Rempang Eco-City.


Dua kasus ini, menurut GERAM, adalah contoh sempurna bagaimana UU PSN membuat pelanggaran hak sipil, hak atas tanah, dan hak lingkungan hidup jadi "sah" dan kebal hukum. Ini adalah pengambilalihan ruang hidup warga yang dilakukan secara sistematis dan disertai kekerasan.


Romes Irawan Putra dari Pantau Gambut menambahkan, "PSN ini sangat mengabaikan hak konstitusional rakyat di daerah. Terutama di wilayah gambut yang sudah terdegradasi parah. Ini mengancam ruang hidup warga dan masa depan anak cucu mereka."


Sekarang, semua mata tertuju pada Mahkamah Konstitusi. GERAM PSN menegaskan bahwa MK harus mengembalikan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi, di atas aturan apa pun yang mengatasnamakan pembangunan.


"Hukum nggak boleh jadi stempel untuk melegitimasi perampasan ruang hidup rakyat," kata mereka. Hukum harusnya menjamin ekologi yang berkelanjutan dan melindungi HAM.


Suara emosional datang dari Busyro Muqoddas, akademisi dan Ketua PP Muhammadiyah Bidang HAM. "Kami sangat berharap Hakim Mahkamah Konstitusi memperoleh petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Semoga putusannya nanti betul-betul pro rakyat Indonesia."


"Paling tidak untuk kasus PSN ini. Kami ini membela langsung di lapangan. Derita mereka itu sudah nggak tertahankan lagi. Di Rempang, Wadas, Morowali, Ternate, Merauke, dan banyak lagi," lanjutnya.


Marthin Hadiwinata dari FIAN Indonesia mempertegas, ini bukan cuma gugatan dari NGO. "Ini adalah permohonan rakyat Indonesia. Rakyat menuntut keadilan atas otoritarianisme eksekutif yang memaksakan kehendak lewat PSN. Kita semua tahu, PSN tidak pernah melibatkan rakyat. Yang ada hanya penetapan sepihak tanpa persetujuan."


Perjuangan hukum ini berat. Melawan kekuatan besar butuh solidaritas besar. GERAM PSN mengajak kita semua untuk nggak diam. Perjuangan warga ini nggak boleh dilemahkan hanya karena para pengambil kebijakan cuek.


Mereka membuka petisi dukungan secara daring. Ini adalah cara kita, sebagai publik, untuk ikut "bersuara". Menegaskan pada hakim MK bahwa rakyat sedang mengawasi dan menuntut keadilan ekologis serta perlindungan HAM.


Kalau lo merasa ini penting, lo bisa ikut menandatangani petisi solidaritas tersebut di tautan ini: https://chng.it/zDbTtmjvcH. Karena pada akhirnya, ini bukan cuma soal tanah mereka, tapi soal masa depan kita semua.

Tidak ada komentar