Rapor Merah Setahun Prabowo-Gibran: Dari Keracunan Massal MBG Hingga Aktivis Hilang

Rapor Merah Setahun Prabowo-Gibran: Dari Keracunan Massal MBG Hingga Aktivis Hilang

Nyaur.com | Jakarta —
Setahun sudah berlalu sejak Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka resmi memimpin Indonesia, tepatnya sejak 20 Oktober 2024. Hype-nya terasa di mana-mana, terutama dengan janji-janji populis seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang masif. Tapi, di balik program yang terlihat "gemoy" itu, ada sebuah realita yang jauh dari kata lucu. Bayangkan, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat ada 11.566 anak sekolah yang diduga jadi korban keracunan massal setelah menyantap MBG per Oktober 2025.


Ini baru satu potong kue dari gambar yang lebih besar. Ketika program bermasalah dan rakyat—mahasiswa, buruh, pelajar, sampai warga biasa—turun ke jalan untuk protes, respons yang didapat justru mengerikan. Sepanjang tahun ini, 5.538 orang jadi korban kekerasan aparat saat berdemo. Puncaknya, pasca demo besar Agustus 2025, 12 aktivis ditahan dan dua orang dilaporkan masih hilang. Amnesty International Indonesia baru saja merilis rapor merah setahun pemerintahan ini. Kesimpulan mereka? Ini adalah "erosi hak asasi manusia terparah sepanjang masa reformasi."


Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, masalah utamanya ada di pola pemerintahan. Pemerintah saat ini lebih suka membuat kebijakan yang populis tapi tidak partisipatif, alias tidak ngajak ngobrol warganya. Dialog baru jadi pilihan kalau protes sudah meledak atau, lebih parahnya, kalau sudah jatuh korban.


"Sejak dilantik... tidak ada kemajuan berarti untuk hak asasi," kata Usman. "Sebaliknya, terjadi erosi terparah... Polanya sama, tanpa partisipasi aktif warga."


Di satu sisi, kebijakan berbau militeristik kembali menguat. Kita melihat ada revisi UU TNI, rencana menjadikan Soeharto pahlawan nasional, sampai munculnya Peraturan Kapolri (Perkapolri) baru. Di sisi lain, kebijakan ekonominya terasa jomplang. Proyek Strategis Nasional (PSN) dikebut, tapi anggaran daerah dipotong. Ironisnya, di saat yang sama, fasilitas dan tunjangan untuk anggota parlemen justru dinaikkan.


Setiap manusia berhak diperlakukan manusiawi, termasuk saat mereka marah dan mengkritik pemerintah. Tapi data Amnesty berbicara lain. Angka 5.538 korban kekerasan saat demo itu bukan sekadar statistik.


Mari kita bedah. Korban-korban ini jatuh dalam tiga aksi besar: protes pengesahan UU TNI (Maret 2025), demo kesejahteraan buruh (Mei 2025), dan penolakan kenaikan tunjangan DPR (Agustus 2025).


Rinciannya bikin ngilu: 4.453 orang ditangkap, 744 orang mengalami kekerasan fisik (dipukuli, ditendang), dan 341 lainnya harus merasakan semprotan water canon dan gas air mata.


Yang lebih bikin merinding, setelah demo Agustus itu, 10 korban jiwa berjatuhan. Alih-alih diusut tuntas, rencana pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk membongkar siapa aktor utamanya, justru "batal dibentuk" dan "menguap" begitu saja.


Bukannya mengevaluasi cara aparatnya bekerja, Presiden, menurut Amnesty, justru memunculkan label-label negatif. Para pengunjuk rasa—yang isinya mahasiswa, pelajar, pegiat literasi, dan warga biasa—dituduh sebagai "anarkis," "makar," "asing," bahkan "teroris."


Suasana makin mencekam ketika Kapolri mengeluarkan Peraturan Nomor 4 Tahun 2025 pada 29 September lalu. Peraturan ini, menurut Amnesty, justru melonggarkan wewenang polisi untuk menggunakan kekuatan, terutama senjata api.


Represi tidak hanya terjadi di jalanan. Mereka yang bekerja mengungkap kebenaran dan membela hak warga juga jadi sasaran.

Ada 268 kasus serangan terhadap pembela HAM. Siapa yang paling sering jadi target? Jurnalis (112 korban) dan pegiat adat (81 korban).


Salah satu contoh nyatanya adalah teror bom molotov ke kantor media Jubi di Jayapura, Papua, pada 16 Oktober 2024. Kasus ini diduga melibatkan militer, tapi seperti banyak kasus lainnya, penyelesaiannya tidak jelas.


Di dunia maya, 14 jurnalis dan lembaga media mengalami serangan digital. Belum lagi jerat UU ITE yang terus memakan korban (20 kasus, 26 korban).


Di Papua, situasinya tetap panas. Dari penangkapan di Sorong, pengadilan kasus makar, penggunaan gas air mata yang menewaskan warga di Manokwari, hingga penangkapan pemrotes investasi di Jayapura. "Apa pun alasannya... jika ada pembungkaman suara-suara kritis oposisi maka yang terbangun adalah atmosfer ketakutan,” tegas Usman.


Sekarang, mari kita bicara soal hak sosial ekonomi. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah flagship. Tapi, program ini justru memunculkan masalah baru: kesehatan anak-anak.


Laporan JPPI yang mencatat 11.566 anak keracunan diduga pasca menyantap MBG adalah tamparan keras. Amnesty menilai ini adalah kegagalan negara menjamin hak anak atas kesehatan. Penyebabnya? Sistem pengawasan yang lemah, pengabaian standar keamanan pangan, dan penanganan program yang terlalu sentralistik.


Yang membuat situasi terasa lebih nyesek adalah respons pemerintah. Presiden Prabowo sempat berkomentar bahwa statistik keracunan MBG "hanya 0,0007 persen" dan mengklaim program 99,99 persen sukses.


Pendekatan statistik ini dikritik keras. "Satu anak yang menderita pun tidak boleh diabaikan atas nama keberhasilan mayoritas," ujar Usman. "Pemerintah harus segera meninjau ulang program MBG tersebut untuk mencegah jatuhnya korban lebih banyak lagi."


Di saat yang sama, Proyek Strategis Nasional (PSN) dan industri ekstraktif (tambang) terus berjalan, seringkali dengan mengorbankan hak masyarakat adat dan lingkungan.


Kasus-kasus seperti lumbung pangan di Merauke (Papua), tambang nikel di Halmahera Timur (Maluku Utara), dan geotermal di Poco Leok (NTT) telah memicu konflik. Lagi-lagi, polanya sama: masyarakat adat, jurnalis, atau aktivis yang bersuara kritis atas proyek-proyek ini justru mengalami represi dan kriminalisasi.


"Fakta-fakta di atas menunjukkan satu tahun pemerintahan Prabowo memperlihatkan wajah pembangunan yang elitis, eksploitatif, dan jauh dari prinsip keadilan sosial," kata Usman.


Lalu, apa akar dari semua masalah ini? Kenapa negara terkesan sangat represif dan anti-kritik?


Amnesty menunjuk satu faktor kunci yang jarang dilirik: meluasnya peran militer di ruang-ruang sipil. Alih-alih memperkuat supremasi sipil, kebijakan pemerintah pasca-Revisi UU TNI justru membuka jalan bagi apa yang disebut "dwifungsi militer kemasan baru."


Lihat saja datanya. Jumlah jabatan sipil yang bisa diisi perwira aktif TNI bertambah jadi 16. Ada pembentukan 100 batalyon teritorial baru. Jumlah Kodam bertambah dari 15 menjadi 21 (dan ditargetkan jadi 37 Kodam pada 2029).


TNI kini bahkan terlibat dalam kegiatan ekonomi dan sosial—mulai dari bertani, beternak, hingga memproduksi obat. Padahal, Indonesia tidak dalam keadaan darurat militer.


Kecenderungan ini diperparah dengan penempatan purnawirawan militer di berbagai posisi strategis, dari 15 posisi di kabinet hingga 5 dari 10 pimpinan Badan Gizi Nasional (BGN) yang mengurusi MBG.


Saat logika militer (komando, keamanan, represif) dibawa masuk untuk mengurus masalah sipil (seperti gizi anak atau protes mahasiswa), yang terjadi adalah pengikisan terhadap prinsip dasar hak asasi manusia.


Amnesty menyimpulkan bahwa arah kebijakan pemerintah saat ini sangat pro-elite, menonjolkan praktik otoriter, dan melakukan militerisasi atas ruang sipil.


Negara yang seharusnya menjamin partisipasi rakyat, justru membungkam suara kritis. Kebijakan dibuat tanpa musyawarah yang memadai, bahkan di parlemen sekalipun.


"Jika tren ini berlanjut," tutup Usman, "maka Indonesia berisiko terperosok dalam otoritarianisme baru yang terus menindas hak-hak warga." 

Tidak ada komentar