Jeritan Warga Kampung Laut Melawan Klaim Lapas Nusakambangan dan Janji Kosong BPN
Nyaur.com | Cilacap — Selasa, 7 Oktober 2025. Udara di pesisir Kampung Laut, Cilacap, terasa lebih berat dari biasanya. Di tiga desa—Klaces, Ujung Alang, dan Gragalan—ratusan pasang mata warga telah menanti. Hari ini seharusnya menjadi hari pembuktian. Hari ketika negara, melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) Cilacap, akhirnya turun ke lapangan. Mereka telah berjanji akan datang, melihat langsung tanah yang menjadi nadi kehidupan warga turun-temurun, tanah yang kini diklaim sepihak oleh negara.
Tapi harapan itu pupus. Janji itu batal begitu saja. Kabar pembatalan kunjungan BPN datang tiba-tiba, dengan alasan klise: "agenda mendadak bersama Sekda." Bagi warga Kampung Laut, ini bukan sekadar urusan administrasi yang dijadwal ulang. Ini adalah pengkhianatan.
Rasanya? Mungkin seperti di-PHP oleh orang yang paling kau percaya. Bayangkan, kau sudah berjuang mati-matian, mengadu ke DPRD, menggelar aksi damai, dan akhirnya mendapat janji. Lalu, di hari-H, janji itu diingkari. Warga merasa "di-ghosting" oleh negara mereka sendiri. Perasaan diabaikan, diremehkan, dan dilecehkan ini menjadi puncak dari akumulasi ketidakadilan yang mereka rasakan selama hampir setahun terakhir.
Jadi, what’s the real tea di Kampung Laut? Ini adalah cerita klasik David vs. Goliath versi agraria. Di satu sisi, ada warga Kampung Laut—para petani dan nelayan—yang hanya ingin hidup tenang di tanah leluhur mereka. Di sisi lain, ada 'raksasa' Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) melalui Lapas Nusakambangan, yang tiba-tiba datang dengan klaim, surat, dan proyek.
Cerita mencekam ini dimulai pada Desember 2024. Lapas Narkotika Nusakambangan tiba-tiba memanggil 18 warga untuk "mediasi" terkait lahan garapan mereka. Warga menolak. "Ini bukan dialog," kata mereka. Ini lebih mirip ultimatum. Warga menantang balik: "Mana buktinya kalau ini tanah negara? Sejak kapan?" Tak ada jawaban yang memuaskan.
Tekanan berlanjut. Pada 9 Januari 2025, surat dari Lapas Batu mendarat, lebih keras. Warga dituduh menyerobot lahan negara. Mereka diberi waktu 20 hari untuk angkat kaki dari lahan pertanian di Gragalan. Tentu saja, warga menolak. Ini soal mempertahankan ruang hidup.
Situasi makin keruh pada Maret 2025. Lapas Batu mengumumkan program "penyodetan" (semacam pengerukan atau pembuatan kanal) di Klaces dan Ujung Alang. Sosialisasi? Tidak ada. Dialog dengan warga terdampak? Jangan harap. Proyek itu jalan terus, mengabaikan hak publik untuk tahu apa yang terjadi di halaman belakang rumah mereka sendiri.
Puncaknya terjadi pada 29 Juli 2025. Warga kaget bukan kepalang saat alat-alat berat masuk dan mulai membabat lahan secara masif di Gragalan barat, lokasinya sangat dekat dengan pemukiman warga. Estimasi luasnya tak main-main: ±34,2 hektar. Warga menduga kuat, proyek raksasa ini tidak memiliki AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dan terkait dengan program food estate yang kontroversial.
Alih-alih mendapat perlindungan, warga justru merasa diintimidasi. Pada 5 Agustus 2025, rombongan pejabat—mulai dari Sekda, pihak Lapas, Camat, hingga aparat keamanan—datang ke Gragalan. Dalihnya "peninjauan lapangan". Namun, di lokasi, warga merasa ditekan dan diperintahkan untuk menjauh 500 meter dari belakang Lapas. Warga tetap kekeuh bertahan.
Merasa semua jalur buntu, warga akhirnya menggelar aksi damai di depan kantor BPN Cilacap pada 24 Agustus 2025. Mereka hanya menuntut satu hal: kepastian hukum. Di situlah janji itu terucap. Ketua BPN Cilacap berkomitmen akan meninjau langsung ke lokasi pada 7 atau 8 Oktober 2025.
Lalu, seperti yang kita tahu, janji itu kini resmi menjadi janji kosong. Pembatalan sepihak ini, bagi warga, adalah bukti nyata bahwa BPN lebih tunduk pada tekanan birokrasi ketimbang menjalankan mandat konstitusionalnya untuk rakyat.
Kini, kesabaran warga telah habis. Melalui "Barisan Petani dan Nelayan Kampung Laut," mereka tidak lagi diam. Tuntutan mereka jelas, lugas, dan tak bisa ditawar.
Pertama, mereka menuntut BPN Cilacap segera menjadwalkan ulang kunjungan lapangan ke Ujung Alang dan Gragalan. "Tanpa alasan penundaan baru!" seru mereka.
Kedua, BPN harus transparan dan berpihak pada rakyat, bukan pada kepentingan kekuasaan. Warga juga menolak segala bentuk intimidasi. Mereka menegaskan tidak akan meninggalkan sejengkal pun tanah warisan leluhur mereka, yang menjadi satu-satunya sumber kehidupan.
Tuntutan paling krusial: "Hentikan seluruh kegiatan penyodetan, pembukaan lahan 34,2 hektar, dan proyek food estate yang dilakukan tanpa izin dan partisipasi warga!"
Mereka mendesak pemerintah pusat dan daerah segera membentuk Tim Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) dan melakukan verifikasi terbuka atas status tanah yang disengketakan, duduk bersama perwakilan masyarakat.
Inilah perjuangan mempertahankan martabat. Seperti yang mereka tegaskan dalam pernyataan sikap mereka, "Kami, rakyat Kampung Laut, berdiri tegak untuk mempertahankan tanah, martabat, dan keadilan yang selama ini diabaikan oleh negara."
Perjuangan warga Kampung Laut adalah cermin bagi kita semua: tentang bagaimana negara terkadang alpa, dan bagaimana rakyat kecil harus berjuang sendirian hanya untuk mempertahankan apa yang sudah menjadi hak mereka sejak lama. Mata kita kini tertuju pada Cilacap, menunggu apakah negara akhirnya akan mendengar jeritan warganya.
Post a Comment