Indonesia Bisa Lepas dari Batu Bara Lebih Cepat? IETD 2025 Beberkan Tiga Jurus Jitu Percepat Transisi Energi
Nyaur.com | Jakarta — Pikirin, deh, gimana rasanya hidup di Indonesia yang udaranya lebih bersih, langitnya lebih biru, dan listrik di rumah kita berasal dari kekuatan alam—dari terik mentari yang setiap hari kita rasakan. Gambaran ini merupakan sebuah masa depan yang amat mungkin kita raih. Sebuah masa depan ketika Indonesia tidak lagi bergantung pada energi fosil yang kotor, melainkan menjadi jawara energi bersih di panggung dunia. Mimpi besar ini menjadi pusat perbincangan hangat di Jakarta, tempat para pemikir hebat berkumpul dalam forum Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2025.
Suasana di ruangan itu terasa penuh harapan sekaligus kegelisahan. Di satu sisi, pemerintah sudah punya peta jalan resmi untuk pensiun dari batu bara pada 2060. Tapi di sisi lain, para ahli dari Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) merasa langkah kita masih kurang ngebut. Mereka melihat potensi raksasa yang tersembunyi di negeri ini—lebih dari 3.600 Gigawatt (GW) energi terbarukan yang siap dieksplorasi. Angka ini jauh melampaui target pemerintah. Pertanyaannya bukan lagi "bisakah?", melainkan "seberapa cepat kita mau berlari?". Dalam dialog yang didukung oleh British Embassy Jakarta ini, mereka tidak hanya bertanya, tapi juga menawarkan solusinya.
Untuk memulai lari maraton menuju Indonesia bebas emisi, kita tidak bisa menunggu lama. IESR dan ICEF mengusulkan tiga "gebrakan" awal yang bisa dieksekusi dalam satu hingga dua tahun ke depan. Ini adalah langkah-langkah konkret yang dampaknya bisa langsung terasa.
Pertama, meluncurkan megaproyek 100 GW Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang tersebar hingga ke pelosok desa. Bayangkan panel-panel surya yang berkilauan di atap rumah petani, gudang nelayan, hingga warung-warung UMKM, memberi mereka listrik yang andal dan murah. Agar rencana keren ini tidak menjadi wacana, perlu ada payung hukum yang kuat, sekelas Keputusan Presiden (Keppres) atau Peraturan Presiden (Perpres).
Kedua, membuka keran partisipasi publik selebar-lebarnya dengan menambah kuota PLTS Atap. Selama ini, banyak dari kita yang ingin pasang panel surya di atap rumah atau pabrik masih terbentur kuota. Dengan melonggarkan aturan ini, setiap individu, komunitas, dan industri bisa menjadi pahlawan energi bagi lingkungannya sendiri.
Ketiga, menerapkan konsep "jalan tol listrik" atau Penggunaan Bersama Jaringan Transmisi (PBJT). Sederhananya, ini seperti mengizinkan pihak swasta yang punya pembangkit listrik bersih untuk "menyewa" jaringan kabel milik PLN untuk menyalurkan listriknya ke industri yang membutuhkan. Ini adalah solusi cerdas yang tidak membebani APBN.
Fabby Tumiwa, Chief Executive Officer (CEO) IESR, dengan antusias menjelaskan bahwa skema ini adalah situasi win-win-win. "Pemerintah untung karena target energi terbarukan tercapai tanpa keluar uang, PLN dapat pemasukan tambahan dari sewa jaringan, industri jadi lebih kompetitif karena jejak karbonnya berkurang, dan masyarakat sekitar bisa menikmati kualitas listrik yang lebih baik," ujarnya. Lebih dari itu, program 100 GW PLTS bisa menjadi etalase bagi dunia, menunjukkan cara negara berkembang melakukan transisi energi sambil membangun industri panel surya dan baterai dalam negeri.
Tentu saja, tiga langkah cepat tadi butuh fondasi yang kokoh agar tidak goyah di tengah jalan. Untuk itu, dalam tiga hingga empat tahun ke depan, ada enam pilar yang harus dibangun serentak.
Pilar utamanya adalah edukasi dan kepercayaan publik. Transisi ini tidak akan berhasil tanpa dukungan kita semua. Perlu ada kampanye masif yang menyadarkan bahwa energi bersih bukan cuma urusan pemerintah, tapi masa depan kita bersama. Selanjutnya adalah regulasi yang pro-investasi, yang membuat para investor yakin untuk menanamkan modalnya di proyek-proyek energi hijau di Indonesia.
Kemudian, instrumen keuangan dan pasar karbon harus sinkron. Jangan sampai kebijakan yang satu ke kiri, yang satunya lagi ke kanan. Sistem kelistrikan kita juga perlu di-upgrade agar siap menerima pasokan listrik dari sumber yang kadang tidak stabil seperti matahari dan angin. Tak kalah penting, dunia pendidikan harus mulai bergerak, menciptakan kurikulum dan pelatihan untuk "pekerjaan hijau" (green jobs) di masa depan. Sripeni Inten Cahyani, seorang anggota ICEF, menekankan pentingnya peran Bappenas hingga Kemendikbudristek untuk menyiapkan talenta-talenta unggul di sektor ini. Terakhir, kita perlu mulai membangun ekosistem hidrogen hijau, sumber energi masa depan yang sangat bersih.
Semua rencana brilian ini akan sia-sia tanpa adanya kepemimpinan dan kepastian hukum yang kuat dari pemerintah. Transisi energi adalah proyek jangka panjang yang akan melintasi beberapa periode pemerintahan. Oleh karena itu, IETD 2025 mendorong pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk segera menyelaraskan berbagai kebijakan energi, pembangunan, dan iklim.
"Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (UU EBET) dan revisi UU Ketenagalistrikan harus segera digolkan," tegas Sripeni. "Ini akan menjadi landasan kokoh yang memberikan kepastian bagi semua pihak untuk bergerak bersama, memastikan bahwa langkah-langkah cepat yang kita ambil di awal tidak kehilangan arah di kemudian hari."
Pada akhirnya, dialog di IETD 2025 bukan hanya sekadar forum diskusi. Ia adalah sebuah seruan, sebuah ajakan untuk bermimpi lebih besar dan bertindak lebih cepat. Ini adalah cerita tentang bagaimana Indonesia bisa mengubah takdirnya, dari negara yang terancam krisis iklim menjadi negara yang memimpin revolusi energi bersih. Dalam cerita ini, kita semua, terutama generasi muda, adalah tokoh utamanya.
Post a Comment