Jebakan Rp1,3 Miliar di Lampung Barat
Ilustrasi
Nyaur.com | Lampung Barat – Kalian pasti tahu, isu krisis air bukan lagi cerita dongeng masa depan. Ia sudah jadi headline nyata di depan mata, terutama di pulau padat penduduk seperti Jawa. Tapi, pernahkah kalian membayangkan, di tengah kekeringan yang mencekik, solusi instan yang disajikan pemerintah justru berpotensi menjadi bumerang bencana alam?
Inilah drama yang sedang dimainkan di gerbang Pulau Sumatera, tepatnya di Lampung Barat, daerah yang diselimuti kemegahan punggung Bukit Barisan. Di sini, Pemerintah Kabupaten melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) menganggarkan dana segar lebih dari Rp1,3 miliar untuk 30 titik sumur bor baru pada tahun 2025. Tujuannya terdengar heroik: memerdekakan sekolah-sekolah dari jerat air hujan atau sambungan PAMSIMAS yang sering seret. Namun, sorotan tajam dan penuh kecurigaan justru diarahkan ke kebijakan "tembak langsung" ini. Ini bukan soal air yang muncul atau tidak, ini soal bom waktu geologi yang perlahan diaktifkan di Bumi Sekala Bekhak.
Pemerintah Daerah (Pemda) sebenarnya telah mendirikan Perumda Air Minum Limau Kunci—sebuah badan usaha yang didanai publik dan secara hukum (berdasarkan Perda Nomor 5 Tahun 2021) wajib menjamin cakupan layanan air bersih. Logikanya, Perumda inilah yang seharusnya menjadi pahlawan bagi warga Lampung Barat.
Namun, realitasnya, Reki Fahlevi, seorang aktivis lokal dari Pekon Negeri Ratu, Kecamatan Batu Brak, menyentil keras kegagalan ini. "Ada apa dengan Perumda Limau Kunci? Bukankah mereka dibentuk untuk mengurus air bersih secara profesional?" tanyanya, mengungkapkan keanehan di balik aksi masif pengeboran oleh Disdikbud.
Faktanya, Perumda Limau Kunci dinilai belum mampu menjangkau kebutuhan air bersih warga secara menyeluruh. Hal ini mendorong masyarakat—dan kini bahkan institusi pendidikan—untuk mencari "jalan pintas" dengan membuat sumur bor pribadi. Pemerintah, kata Reki, mungkin menganggap sumur bor ini adalah solusi yang "lebih cepat, lebih langsung, lebih terlihat hasilnya. Air bisa muncul besok, bukan bulan depan, lebih lagi tahun depan."
Di sinilah inti masalah dan sudut pandang yang sering terabaikan muncul. Lampung Barat bukanlah kota dataran rendah yang stabil. Daerah ini adalah rangkaian topografi yang kompleks: lereng, tebing, lembah, dan jurang yang menjadi bagian dari Sesar Besar Sumatera dan tersusun dari material geologi yang rapuh.
“Lampung Barat adalah rangkaian punggung Bukit Barisan,” tegas Reki.
Para ahli geologi sudah lama memperingatkan: banyak lapisan tanah di wilayah ini tersusun dari endapan vulkanik muda. Kita bicara tentang pasir tuf, debu vulkanik, material lepas yang rapuh dan mudah bergeser, bukan batuan keras yang kokoh menopang. Beberapa kontur bahkan menyimpan struktur seperti labirin dan rongga alami. Air memang sumber kehidupan, tetapi pada tanah jenis ini, air yang berlebihan atau dieksploitasi justru bisa bertindak sebagai pelarut dan destabilisator.
Pengambilan air tanah secara besar-besaran, apalagi di lokasi dengan kondisi geologis fragile seperti ini, menciptakan masalah yang jauh lebih serius daripada sekadar krisis air:
* Rusaknya Permukaan: Penggunaan mesin berat untuk pengeboran awal sudah merusak lapisan permukaan.
* Rongga Bawah Tanah: Eksploitasi air tanah berlebih meninggalkan rongga di bawah tanah, karena cadangan air yang tadinya berfungsi menyeimbangkan tekanan dan kontur tanah telah hilang.
* Amblas dan Longsor: Rongga ini menyebabkan tekanan tanah menjadi tidak seimbang. Batuan penyangga tanah akan bergeser, memicu fenomena tanah amblas (penurunan permukaan) dan longsor.
* Banjir: Penurunan ketinggian tanah akibat amblas akan berdampak langsung pada sistem drainase dan meningkatkan frekuensi serta tingkat keparahan banjir di titik-titik tertentu.
Reki mempertanyakan, "Sudahkah titik-titik sumur itu diuji dengan metode geolistrik? Sudahkah konsultan hidrogeologi dilibatkan? Atau jangan-jangan hanya menggunakan ilmu paling populer di Indonesia: 'Katanya di sini pernah ada sumur yang berhasil'.” Sindiran ini menohok budaya "coba peruntungan" yang membahayakan kelangsungan ekosistem dan keselamatan warga.
Pengeboran 30 titik sumur di sekolah-sekolah memang terlihat sebagai happy ending: Anak-anak menikmati air bersih, para guru lega. Namun, skenario terburuk yang dibayangkan Reki adalah, “Sampai suatu hari sumur itu kering, atau lebih buruk dari itu,” yang mengacu pada potensi bencana geologi.
Solusi sebenarnya bagi Lampung Barat bukanlah sekadar mengebor lebih dalam. Teknologi sudah ada: survei resistivitas untuk memetakan kedalaman akuifer dan uji penetrasi tanah untuk mendeteksi lapisan lemah. Alternatif untuk air bersih pun tersedia, mulai dari memanfaatkan langsung mata air pegunungan hingga teknologi modern seperti teknik kondensasi yang mengubah udara menjadi air.
“Kita harus jujur,” pungkas Reki. “Lampung Barat tidak hanya butuh sumur. Ia butuh manajemen air. Ia butuh peta hidrogeologi. Ia butuh rencana jangka panjang, bukan sekedar proyek jangka pendek. Air bukan hanya urusan kebutuhan hari ini, tapi kelangsungan hidup generasi mendatang.”
Generasi muda, inilah saatnya kita melihat melampaui janji-janji proyek instan. Keputusan Rp1,3 miliar hari ini bisa menjadi utang bencana bagi masa depan kita. Kita harus menuntut transparansi, kajian ilmiah yang mendalam, dan solusi berkelanjutan yang menghormati geologi Bukit Barisan, bukan mengeksploitasinya hingga batas ambruk. Karena, air adalah kehidupan, tapi di tanah yang rapuh, ia juga bisa menjadi malapetaka.
Post a Comment