Jeritan Perut Ribuan Anak di Bandung Barat: Makanan Gratis yang Menoreh Luka dan Trauma di Meja Sekolah
Nyaur.com | Bandung Barat – Aroma masakan yang seharusnya membawa janji gizi, mendadak terasa getir dan menyesakkan di tenggorokan. Kamis, 25 September 2025, bukan sekadar tanggal di kalender; hari itu adalah garis waktu yang mencatat babak kelam. Di dua kecamatan di Kabupaten Bandung Barat, sekitar 1.000 (seribu) siswa ambruk. Mereka bukan jatuh karena lelah, melainkan karena makanan yang seharusnya menjadi penyelamat: Makan Bergizi Gratis (MBG).
Ini bukan sekadar berita, ini adalah drama kemanusiaan yang terhampar di ruang-ruang kelas. Bayangkan, seorang bocah SD yang tadinya sumringah menyantap bekal gratis, tiba-tiba wajahnya memucat seperti kertas yang kehilangan warna. Ia merasakan perutnya terpelintir hebat, gelombang mual menghantam tanpa ampun, diikuti muntah tak tertahankan. Guru-guru, yang tadinya bertugas mengajar, kini berubah menjadi tenaga medis darurat, panik mencoba menenangkan anak-anak yang menangis sambil memegangi perut mereka. Mereka merasakan dingin menjalar, lalu tubuhnya lemas seperti ditarik gravitasi bumi, membutuhkan pertolongan cepat untuk tetap sadar. Pemandangan inilah yang mendominasi sekolah-sekolah di sana, mengubah cita-cita gizi menjadi mimpi buruk kolektif.
Kejadian Luar Biasa (KLB)—tiga huruf yang ditetapkan oleh Bupati Kabupaten Bandung Barat— menjadi penanda bahwa peristiwa ini bukanlah insiden kecil. Status KLB ini berlaku sejak 21 hingga 25 September 2025. Penetapan ini membuktikan bahwa tingkat keracunan massal di provinsi ini telah melebihi batas toleransi, menjadikan Jawa Barat sebagai salah satu provinsi dengan tingkat keracunan akibat MBG terbanyak se-Indonesia.
Tragedi ini menarik perhatian lembaga-lembaga pemantau. Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mencatat bahwa mereka telah menemukan sebanyak 5.626 kasus keracunan dari MBG di 16 provinsi dalam kurun waktu 17 Januari hingga 18 September 2025.
Namun, angka mengerikan itu terus bergerak naik. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyatakan bahwa kasus keracunan dari MBG mengalami kenaikan yang sangat signifikan. Mereka mengamati lonjakan tajam dari 1.376 kasus pada akhir Juni menjadi 6.452 kasus pada pekan terakhir, membuktikan kegagalan sistem yang kronis. Korban dari tragedi pangan ini meliputi siswa sekolah hingga guru, menunjukkan bahwa kerawanan pangan ini menyerang semua pihak di ekosistem pendidikan.
Awalnya, program MBG diumumkan sebagai solusi cemerlang untuk memerangi stunting dan mencukupi kebutuhan gizi. Pemerintah berjanji menyediakan pangan sehat bagi anak-anak Indonesia. Namun, kini program MBG berubah menjadi ironi menyedihkan di berbagai wilayah, di mana kenyataan di lapangan berbanding terbalik dengan janji manis.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung memandang bahwa rentetan kasus yang terjadi berulang, terutama di dua kecamatan Kabupaten Bandung Barat, membuktikan bahwa program MBG telah gagal dalam pelaksanaannya. Mereka menekankan bahwa jika pemerintah tak kunjung melakukan upaya mitigasi yang memadai, maka negara dapat dikatakan melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) karena lalai.
LBH Bandung melihat situasi ini membutuhkan sikap serius. Mereka mendesak pemerintah untuk memberikan penanganan medis menyeluruh kepada korban dan menjamin perlindungan hak masyarakat atas pangan yang aman dan berkualitas. Status KLB menempatkan pemerintah daerah pada posisi tidak bisa lagi menganggap enteng persoalan ini. Mereka harus menjadikan kasus ini sebagai prioritas utama dalam kebijakan publik.
Hukum memiliki suara tegas mengenai hak dasar ini. Pasal 25 DUHAM menegaskan bahwa setiap orang berhak atas standar hidup yang memadai untuk kesehatan. Lebih lanjut, Pasal 11 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mewajibkan negara mengakui hak atas standar hidup yang memadai, termasuk pangan.
Di Indonesia, Pasal 64 ayat (3) UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan mengatur bahwa Pemerintah Pusat dan Daerah bertanggung jawab menjaga bahan makanan agar memenuhi standar mutu gizi dan keamanan. Keracunan MBG dianggap sebagai pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya.
LBH Bandung menyimpulkan bahwa peristiwa keracunan massal MBG mengancam hak hidup dan kesehatan anak-anak, karena pangan yang tidak aman menyebabkan dampak buruk pada kesehatan fisik dan psikis anak. Kegagalan pengawasan oleh pemerintah pusat dan daerah jelas melanggar kewajiban negara untuk melindungi hak ini.
Berdasarkan serangkaian pelanggaran dan fakta lapangan, LBH Bandung melayangkan tiga desakan yang berharap mampu menghentikan lingkaran setan keracunan ini:
* Negara melalui Pemerintah harus menghentikan total pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis karena program tersebut telah menimbulkan korban dan kerugian bagi publik luas.
* Negara, termasuk pemerintah pusat hingga pemerintah daerah, wajib melakukan upaya perlindungan serta pemulihan bagi korban baik siswa, guru, dan lainnya yang terdampak keracunan makan bergizi gratis.
* LBH Bandung mendorong Komnas HAM, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ombudsman RI, dan lembaga pengawas independen lainnya untuk segera turun tangan dan menyelidiki peristiwa keracunan Makan Bergizi Gratis yang berdampak kepada korban mayoritas siswa sekolah.
Publik kini menanti keputusan yang berpihak pada keselamatan dan martabat anak bangsa. Pemerintah harus memilih antara melanjutkan program yang bermasalah atau menghentikan horor di meja makan sekolah, sebelum korban jiwa kembali berjatuhan.
Post a Comment