Ketika Keadilan Menghilang: Indonesia di Tengah Darurat Anti Penghilangan Paksa

Nyaur.com | Jakarta - Jakarta pada 25 Agustus 2025 itu terasa mencekam. Di depan gedung DPR, ratusan orang, sebagian besar anak muda, berkumpul untuk menyuarakan aspirasi. Namun, suara mereka tidak didengar—justru dihilangkan.

Setelah ditangkap oleh aparat, setidaknya 351 orang lenyap dari pandangan, tanpa akses ke keluarga atau kuasa hukum. Kejadian serupa kembali terulang pada 28 Agustus. Ini bukan sekadar penangkapan, melainkan praktik penghilangan paksa jangka pendek yang melanggar hak-hak dasar manusia. Ironisnya, hal ini terjadi di saat Indonesia memperingati Hari Anti Penghilangan Paksa Sedunia.

Sejarah Kelam yang Terus Berulang
Tragedi ini bukanlah hal baru. Pola serupa telah berulang dalam berbagai aksi protes: dari Reformasi Dikorupsi (2019) hingga penolakan Omnibus Law Cipta Kerja (2020). Praktik ini juga terjadi pada para pembela HAM dan di wilayah konflik seperti Aceh dan Papua.

Ini adalah warisan yang tak pernah diselesaikan dari masa Orde Baru, saat penghilangan paksa menjadi senjata untuk membungkam kritik. Peristiwa-peristiwa seperti tragedi 1965-1966, Penembakan Misterius (1982-1985), hingga Biak Berdarah (1998) menunjukkan bahwa kebiasaan ini sudah mengakar dalam sejarah bangsa.

Negara di Bawah Bayang-Bayang Impunitas
Hingga kini, Indonesia belum juga meratifikasi Konvensi Internasional Anti Penghilangan Paksa (ICPPED), meskipun sudah ditandatangani sejak 2010. Ketiadaan payung hukum ini membuat pelaku impunitas dan korban serta keluarga tak mendapatkan keadilan. Tidak ada mekanisme yang jelas untuk mencegah keberulangan, dan tidak ada sanksi yang tegas bagi para pelaku.

Parahnya, revisi KUHAP justru kian menjauh dari prinsip HAM. Aturan ini dikhawatirkan akan mempermudah penangkapan tanpa pengawasan, mengulangi praktik yang pernah terjadi di rezim-rezim otoriter di negara lain. Korban dan keluarga mereka terpaksa hidup dalam ketidakpastian, kesulitan mengurus dokumen penting, dan tak tahu di mana kerabat mereka berada.

Tuntutan Tegas dari Koalisi: Keadilan Harus Terwujud!
Dalam momentum ini, Koalisi Indonesia Anti Penghilangan Paksa menyerukan tindakan tegas:
1. DPR harus segera meratifikasi Konvensi ICPPED.
2. Pemerintah, Polri, dan TNI harus menghentikan praktik penghilangan paksa.
3. Jaksa Agung harus mengusut tuntas semua kasus HAM berat.
4. Pemerintah wajib memberikan pemulihan yang bermartabat bagi korban dan keluarga.
5. Kementerian Kebudayaan harus memasukkan sejarah penghilangan paksa ke dalam kurikulum pendidikan.
6. Para pelaku tidak boleh mendapatkan impunitas.

Ini bukan hanya masalah hukum, tapi juga masalah moral dan kemanusiaan. Negara harus bertanggung jawab dan memastikan bahwa tidak ada lagi orang yang hilang hanya karena berani bersuara.

Tidak ada komentar