Danau Ranau dalam Bayang-Bayang Turbin: Pertaruhan Energi di Atas Patahan SemangkoAcara yang dihadiri para pejabat lintas kementerian, pemerintah provinsi, dan kabupaten dari Provinsi Lampung dan Sumatera Selatan tersebut menjadi ajang penyamaan persepsi terkait pemanfaatan potensi panas bumi di kawasan Danau Ranau, sekaligus bagian dari persiapan pelelangan WKP oleh Kementerian ESDM.

Danau Ranau dalam Bayang-Bayang Turbin: Pertaruhan Energi di Atas Patahan Semangko
Pemerintah Kabupaten Lampung Barat kembali menunjukkan komitmennya dalam mendukung pengembangan energi baru terbarukan. Hal itu ditegaskan oleh Sekretaris Kabupaten (Sekkab) Lampung Barat Nukman, saat mewakili Pemkab Lampung Barat pada Sosialisasi Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Danau Ranau yang diselenggarakan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI di Hotel Seminung Lumbok Resort, Kecamatan Lumbok Seminung, pada Jumat, 21 November 2025.

Nyaur.com | Lampung Barat —
Di permukaan, air danau itu tenang, memantulkan kabut pagi yang menyelimuti Gunung Seminung selayaknya lukisan purba yang tak terusik. Namun, ketenangan di Danau Ranau adalah sebuah tipu daya geologis yang memukau. Jauh di bawah permukaan air yang damai itu, Sesar Semangko—patahan besar Sumatera yang pernah meluluhlantakkan Liwa pada 1994—sedang tertidur, menyimpan bara vulkanik yang kini hendak dibangunkan paksa.

Di Hotel Seminung Lumbok Resort, tak jauh dari bibir danau, para pejabat baru saja bertukar senyum dan jabat tangan, mengumumkan rencana lelang ulang Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Danau Ranau pada Jumat, 21 November 2025 pagi. Mereka menyebutnya "akselerasi energi hijau" dan "kunci kesejahteraan". Namun, bagi tanah yang berdiri tepat di wilayah jalur patahan aktif ini, rencana tersebut terdengar seperti sebuah perjudian kolosal. Ketika pipa-pipa raksasa hendak ditancapkan ke jantung vulkanik yang rapuh, satu pertanyaan menggantung di antara kabut. Apakah kita sedang memanen energi masa depan, atau sedang mengusik naga yang seharusnya dibiarkan terlelap?

Di atas kertas, narasi yang dibangun pemerintah terdengar tanpa celah. Dalam berbagai kesempatan, termasuk apel mingguan di lingkungan Pemprov Lampung Oktober lalu, janji manis itu ditebar. Di antaranya investasi yang akan mengalir deras, penciptaan lapangan kerja, hingga pertumbuhan ekonomi daerah yang dipicu oleh proyek Green Hydrogen Pilot Plant.

Dalam sorotan proyektor Kementerian ESDM yang terang, estimasi total investasi untuk proyek ini digadang-gadang mencapai angka fantastis, USD 214 juta. Sebuah angka yang menyilaukan mata, lengkap dengan iming-iming Dana Bagi Hasil (DBH) dan Bonus Produksi yang akan membanjiri kas daerah Lampung Barat dan OKU Selatan. Sebuah mimpi tentang kemakmuran yang dibangun di atas uap panas.

Danau Ranau dalam Bayang-Bayang Turbin: Pertaruhan Energi di Atas Patahan Semangko
Sosialisasi Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Danau Ranau yang diselenggarakan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI di Hotel Seminung Lumbok Resort, Kecamatan Lumbok Seminung, pada Jumat, 21 November 2025.

Namun, sejarah punya cara yang kejam untuk mengingatkan kita pada realitas. Ini bukan kali pertama janji serupa diucapkan di tanah ini. Dulu ada raksasa bernama PLN, dan mereka gagal.

WKP Danau Ranau sejatinya telah ditetapkan sejak 2011. Bahkan pada 2018, melalui Keputusan Menteri ESDM, PLN pernah diberi mandat untuk menggarapnya. Hasilnya? Nihil. Kementerian ESDM terpaksa mencabut izin tersebut karena sang raksasa energi tak kunjung mendapat mitra dan membiarkan lahan itu "tidur" selama bertahun-tahun tanpa eksplorasi berarti.

Lebih mengkhawatirkan lagi, terjadi penyusutan ambisi yang drastis. Jika pada era Presiden SBY tahun 2013 potensi cadangan WKP ini digembar-gemborkan mencapai 210 MW, kini target lelang dalam dokumen resmi 2025 terjun bebas hanya menjadi 40 MW. Jika potensi cadangannya menyusut sedemikian rupa dan BUMN sekelas PLN saja angkat tangan, keraguan publik adalah hal yang wajar. Sihir apa yang diharapkan pemerintah dari lelang ulang ini?

Uang investasi mungkin bisa dicetak, tapi geologi tidak bisa dilawan. Sekkab Lampung Barat, Nukman, mengakui bahwa wilayahnya berdiri di atas kawasan vulkanik tua. Namun, yang sering luput dari pidato seremonial adalah detail mengerikan tentang di mana tepatnya proyek ini berdiri, yakni di Segmen Ranau-Suoh.

Danau Ranau dalam Bayang-Bayang Turbin: Pertaruhan Energi di Atas Patahan Semangko
Nukman saat menyampaikan sambutan pada Sosialisasi Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Danau Ranau yang diselenggarakan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI di Hotel Seminung Lumbok Resort, Kecamatan Lumbok Seminung, pada Jumat, 21 November 2025.

Bagi warga lokal, nama segmen ini membangkitkan trauma. Ini adalah jalur patahan yang sama tatkala pada Februari 1994 menggoncang Liwa dengan kekuatan magnitudo 6,8, meratakan 75 persen bangunan kota dan menewaskan hampir 200 jiwa.

Bayangkan skenario yang menampilkan pipa-pipa uap bertekanan tinggi dan sumur geotermal ditanam menembus batuan tufa dan breksi vulkanik yang labil. Jika Sesar Semangko kembali menggeliat—sebuah kepastian geologis, bukan kemungkinan—risikonya bukan hanya kerugian aset. Deformasi tanah bisa mematahkan selubung sumur (casing) di bawah tanah, memicu kebocoran fluida panas atau gas beracun seperti H₂S yang tak terlihat namun mematikan. Imaji tersebut tidak sedang menguraikan tentang risiko bisnis, melainkan risiko bencana industri di atas tanah rawan gempa.

Pemerintah kerap berlindung di balik argumen "kesejahteraan rakyat" dan pemenuhan kebutuhan listrik. Namun, data statistik justru menelanjangi argumen tersebut. Hingga akhir 2024, Rasio Elektrifikasi di Lampung Barat sudah mencapai 99,07%.

“Ketersediaan energi listrik yang semakin stabil akan berdampak langsung pada peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini sejalan dengan visi Lampung Barat Hebat dan Setia,” ujar Nukman.

Danau Ranau dalam Bayang-Bayang Turbin: Pertaruhan Energi di Atas Patahan Semangko
Acara dihadiri dihadiri para pejabat lintas kementerian, pemerintah provinsi, dan kabupaten dari Provinsi Lampung dan Sumatera Selatan tersebut menjadi ajang penyamaan persepsi terkait pemanfaatan potensi panas bumi di kawasan Danau Ranau, sekaligus bagian dari persiapan pelelangan WKP oleh Kementerian ESDM.

Rakyat di sana tidak hidup dalam kegelapan. Mereka tidak butuh tambahan listrik yang kemungkinan besar akan dialirkan ke jaringan (grid) Sumatera untuk dijual ke industri lain. Yang mereka butuhkan adalah keamanan ruang hidup.

Belum lagi bayang-bayang konflik sosial yang mengintai. Kasus sengketa lahan di proyek PGE Ulubelu—saat warga seperti Darmawan masih menuntut keadilan atas lahannya yang dilintasi pipa tanpa kejelasan ganti rugi—adalah cermin retak bagi masa depan Danau Ranau.

Potensi konflik horizontal juga menganga lebar. WKP ini membelah dua provinsi, yaitu Lampung dan Sumatera Selatan. Siapa yang akan menikmati uangnya, dan siapa yang akan menanggung limbahnya? Isu pembagian Dana Bagi Hasil (DBH) seringkali menjadi api dalam sekam yang siap membakar hubungan harmonis antar-kabupaten ketika uang mulai bicara.

Kini, Danau Ranau masih indah dipandang. Perahu nelayan hilir mudik dengan tenang menuju keramba jaring apung, ditemani kicau burung dari hutan konservasi yang mengelilinginya. Namun, bisakah pemandangan purba ini bertahan tatkala menara bor dan desing turbin kelak mendominasi cakrawala?

Pada akhirnya, lelang WKP Danau Ranau bukan sekadar transaksi energi. Ini adalah ujian bagi nurani birokrasi. Apakah label 'Kabupaten Konservasi' adalah prinsip yang dipegang teguh, atau sekadar plang kayu yang bisa dicabut kapan saja saat investor datang mengetuk pintu dengan membawa koper berisi 214 juta dolar?

Tidak ada komentar