Vinsen Kwipalo Melawan Raksasa Tebu dan Ancaman Bui di Jantung Papua
Nyaur.com | Jayapura — Deru mesin alat berat itu memekakkan telinga, merobek keheningan hutan adat yang selama ini menjadi rumah dan napas bagi Marga Kwipalo. Di bawah terik matahari Merauke, Vinsen Kwipalo berdiri tegak. Di hadapannya, baja raksasa itu tanpa ampun meratakan tanah leluhurnya, mengubah hamparan hijau menjadi lahan cokelat yang siap ditanami tebu. Ini bukan sekadar penebangan pohon; ini adalah penggusuran sejarah, penghapusan identitas yang terukir di setiap jengkal tanah itu. Bagi Vinsen, ini adalah panggilan jiwa untuk melawan, sebuah perlawanan yang kini justru mengancam kebebasannya sendiri.
Bayangkan dirimu berada di posisinya. Tanah yang menjadi saksi bisu kelahiran, kehidupan, dan kematian para leluhurmu, kini diobrak-abrik atas nama "Proyek Strategis Nasional". Setiap pohon yang tumbang serasa seperti satu bagian dari dirimu ikut mati. Rasa marah, sedih, dan tak berdaya bercampur menjadi satu. Namun, Vinsen menolak untuk diam. Pada 15 September 2025, dengan keberanian yang tersisa, ia mengadang laju monster baja itu. Aksinya bukan tanpa alasan, melainkan puncak dari perjuangan panjang untuk mempertahankan apa yang menjadi haknya. Namun, alih-alih didengar, pembelaannya itu kini dibalas dengan surat panggilan polisi. Babak baru yang kelam dalam perjuangannya dimulai: ancaman kriminalisasi.
Vinsen Kwipalo bukanlah seorang penjahat. Ia adalah seorang anak adat dari Suku Malind Anim, pewaris sah Tanah Adat Marga Kwipalo di Merauke, Provinsi Papua Selatan. Baginya, tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan ibu yang memberi kehidupan, identitas, dan spiritualitas. Ketika PT. Murni Nusantara Mandiri (PT. MNM) datang dengan rencana raksasa perkebunan tebu sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), mereka datang tanpa permisi.
Menurut Koalisi Penegak Hukum dan Hak Asasi Manusia Papua, perusahaan tersebut melangkahi aturan main yang paling fundamental: berbicara dengan pemilik rumah. Undang-Undang Otonomi Khusus Papua (UU No. 2 Tahun 2021, Pasal 43 ayat 3) secara tegas mewajibkan adanya dialog dengan Masyarakat Adat. Namun, komunikasi itu nihil. Proyek ini melaju kencang, seolah-olah tanah itu tak bertuan.
Perlawanan Vinsen pun bukan aksi impulsif. Jauh sebelum alat berat datang, ia sudah berteriak lantang. Ia menancapkan Salib Merah di atas tanah adatnya sebagai simbol penolakan dan batas suci yang tak boleh dilanggar. Ia menyuarakan keberatannya di media massa, turun ke jalan untuk berdemonstrasi di Merauke hingga ke jantung kekuasaan di Jakarta, bahkan membawa perjuangannya hingga ke meja Mahkamah Konstitusi. Semua jalan damai dan konstitusional telah ia tempuh. Namun, perlawanan gigihnya seolah tak terlihat.
Insiden pengadangan alat berat pada pertengahan September lalu menjadi titik balik yang ironis. Aksi Vinsen untuk melindungi haknya justru dilaporkan oleh seorang karyawan PT. MNM ke Polres Merauke. Laporan inilah yang kini bergulir menjadi proses hukum yang diyakini banyak pihak sebagai upaya kriminalisasi. Istilah kerennya, strategic lawsuit against public participation (SLAPP)—sebuah taktik untuk membungkam kritik dengan menggunakan instrumen hukum.
Logikanya sederhana: jika sang penjaga utama bisa "dibereskan", maka perlawanan akan padam dan proyek bisa berjalan mulus. Koalisi melihat ini sebagai strategi PT. MNM untuk menutupi dugaan penyerobotan dan penggelapan tanah yang mereka lakukan. Vinsen yang seharusnya dilindungi sebagai korban, kini justru berpotensi menjadi tersangka di tanahnya sendiri.
Gimana ceritanya seorang pejuang lingkungan dan hak asasi manusia (HAM) bisa dipidana? Padahal, Konstitusi kita, UUD 1945 Pasal 18b ayat (2), secara eksplisit mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Belum lagi UU Otonomi Khusus Papua dan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Merauke No. 5 Tahun 2013 yang seharusnya menjadi tameng pelindung bagi Vinsen dan komunitasnya. Atas dasar hukum inilah, Vinsen adalah warga negara yang sah sedang menjalankan haknya, bukan melakukan tindak kejahatan.
Melihat ketidakadilan ini, Koalisi Penegak Hukum dan Hak Asasi Manusia Papua tidak tinggal diam. Mereka menyuarakan desakan keras kepada semua level pemerintahan, mulai dari Presiden hingga Bupati. Tuntutannya jelas dan berlapis:
* Untuk Presiden dan Menteri LHK: Cabut Proyek Strategis Nasional di tanah Marga Kwipalo. Batalkan SK Menteri LHK yang menjadi dasar hukum PT. MNM beroperasi, yang dianggap melegalkan perampasan tanah adat.
* Untuk Kapolri dan Polres Merauke: Hentikan segera proses hukum terhadap Vinsen Kwipalo. Ia bukan kriminal, melainkan Pembela HAM yang sedang melindungi lingkungannya dari kehancuran.
* Untuk Komnas HAM: Berikan perlindungan penuh bagi Vinsen dari segala bentuk ancaman dan intimidasi yang dilakukan oleh pihak perusahaan.
* Untuk Gubernur Papua Selatan dan Bupati Merauke: Sebagai pemimpin daerah, mereka didesak untuk turun tangan langsung. Perintahkan PT. MNM untuk menghentikan segala aktivitas di tanah sengketa dan laksanakan amanat Perda untuk melindungi masyarakat adat.
Kisah Vinsen Kwipalo adalah cerminan dari ribuan konflik agraria di Indonesia, sebuah pertarungan klasik antara kepentingan modal besar melawan hak-hak rakyat kecil. Ini bukan lagi sekadar cerita tentang sebidang tanah di Merauke. Ini adalah cerita tentang keadilan, martabat, dan masa depan masyarakat adat di negeri ini. Di antara deru mesin dan lembaran pasal hukum, suara Vinsen adalah representasi rintihan tanah Papua yang terluka. Pertanyaannya kini, siapa yang akan mendengarkan?
Post a Comment