Kenapa Transisi Energi Bersih di Indonesia Mandek? Bongkar Drama Batubara dan Peluang Cuan di Timur
Nyaur.com | Jakarta — Pernah merasa gerah saat isu perubahan iklim cuma jadi wacana di media sosial, padahal kita, rakyat biasa yang paling kena dampaknya? Transisi energi ke sumber yang lebih bersih—angin, air, matahari—bukan lagi pilihan, tapi tiket penyelamat masa depan kita. Ironisnya, di negara kepulauan super kaya potensi ini, laju transisi energinya masih kaya siput kena macet. Targetnya ambisius, tapi realisasinya bikin elus dada.
Bayangkan saja, Pemerintah Indonesia sudah menargetkan penambahan kapasitas energi terbarukan (ET) gila-gilaan, total 269 GW hingga tahun 2060, atau sekitar 10,1 GW per tahun. PLN, sang raksasa listrik negara, bahkan memasukkan 42,1 GW energi terbarukan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034. Angka-angka ini keren, kan? Tapi, fakta di lapangan? Sampai Agustus 2025, kapasitas pembangkit ET kita baru sekitar 15,2 GW. Padahal, potensi teknis ET di Indonesia itu mencapai 3,66 TW—angka yang super masif, literally hampir 240 kali lipat dari yang terpasang saat ini! Jauh banget! Kenapa kita berjalan selambat ini, padahal countdown krisis iklim terus berjalan?
Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) mencoba membongkar benang kusut ini dalam acara Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2025 pada Selasa, 7 Oktober 2025, yang didukung oleh Kedutaan Besar Inggris. Topiknya: mengurai hambatan untuk menemukan jalan pintas percepatan transisi energi. Ternyata, hambatannya bukan cuma soal teknis, tapi juga soal birokrasi, regulasi, dan mentalitas lama.
Salah satu kunci utama transisi adalah melalui skema Produsen Listrik Swasta (Independent Power Producer/IPP). Namun, Dwi Cahya Agung Saputra, Koordinator Transisi Sistem Ketenagalistrikan IESR, membeberkan masalah utama: proses pengadaan yang kurang transparan dan tidak memiliki lini masa terstruktur. Developer yang mau investasi di energi hijau dibuat bingung, kapan lelangnya? Aturan mainnya bagaimana?
Di tahap perencanaan, PLN masih menghadapi dilema. Mereka harus mempertimbangkan sistem kelistrikan yang sudah telanjur didominasi fosil. Yang bikin nyesek, beberapa proyek pembangkit fosil yang sudah telanjur dikonstruksi tetap dilanjutkan dalam RUPTL terbaru. Ini jelas jadi beban tambahan.
Masalah utamanya adalah perbandingan harga yang tidak adil. Dengan adanya kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) pada batubara, biaya listrik dari batubara di mata PLN seolah-olah jauh lebih murah karena disubsidi. Akibatnya, ketika IPP menawarkan tarif energi terbarukan, PLN selalu membandingkannya dengan biaya listrik PLTU yang disubsidi—tarif ET pun jadi terasa "mahal" dan kurang menarik bagi investasi swasta. Ini adalah tembok besar yang membuat investasi ET seret.
IESR tidak hanya berkeluh kesah. Mereka menawarkan tiga rekomendasi konkret yang bisa menjadi game changer:
* Perbaiki Perencanaan: Transparansi adalah harga mati. IESR mendesak perbaikan proses perencanaan, termasuk RUPTL, dengan melibatkan partisipasi publik, IPP, dan pemerintah daerah.
* Reformasi Mekanisme Pengadaan: Hilangkan ketidakpastian! IESR mendorong adanya kalender lelang nasional yang terstruktur (multiyear). Selain itu, proses masuk Daftar Penyedia Terseleksi (DPT) harus lebih transparan dan diawasi. Ini penting untuk menciptakan kompetisi yang sehat dan membuka pintu bagi developer baru, bahkan startup energi bersih yang siap berinovasi.
* Perkuat Peran PLN: IESR menyarankan pembentukan entitas khusus di bawah PLN untuk menjadi offtaker dan pelaksana pengadaan khusus ET. Untuk proyek kecil (< 10 MW), pengadaan bisa didelegasikan ke PLN wilayah atau pemerintah pusat, didukung skema feed-in tariff nasional yang stabil dan menarik.
Yang menarik dari transisi energi ini terletak pada masyarakat yang selama ini terisolasi dari listrik yang andal. IESR melihat peningkatan adopsi ET di wilayah timur Indonesia bukan sekadar upaya dekarbonisasi, tapi juga solusi untuk mengentaskan kemiskinan energi dan menyediakan akses listrik bersih yang terjangkau. Ini adalah cerita tentang keadilan energi.
Raditya Wiranegara, Manajer Riset IESR, menyoroti Nusa Tenggara Timur (NTT). Pemprov NTT sudah menargetkan 47% energi terbarukan pada 2034 di rancangan Rencana Umum Energi Daerah (RUED).
Berdasarkan kajian IESR, Pulau Timor, dengan potensi ET mencapai 30,81 GW (mayoritas dari energi surya 20,72 GW), secara teknis bisa 100% menggunakan energi terbarukan. Biayanya? Jangka pendek (2025–2035), membatalkan proyek PLTU yang sedang direncanakan justru akan mencegah transisi yang mahal. Total investasi untuk 100% ET di Pulau Timor hanya sekitar USD 1,54 miliar hingga 2050. Raditya menyebut, "Pembatalan beberapa proyek PLTU dapat menghindarkan investasi pembangkit fosil sebesar USD 191 juta. Sebagai gantinya, dibutuhkan investasi sekitar USD 260 juta untuk membangun pembangkit energi terbarukan." Jelas, energi bersih lebih murah dan berkelanjutan!
Cerita serupa terjadi di Pulau Sumbawa, NTB, yang menargetkan net-zero emission pada 2050. Total potensi ET di sana 10,21 GW, dengan surya sebagai primadona (8,64 GW). Strategi IESR mendorong penggantian proyek fosil dengan ET di jangka pendek, dan pensiun dini PLTU dengan penggantian bahan bakar ke hidrogen dan amonia hijau di jangka panjang.
Ini adalah panggilan untuk kita semua. Transisi energi bukan hanya tugas PLN atau Pemerintah, tapi adalah perjuangan kolektif untuk mewujudkan masa depan yang kita impikan: bebas polusi, berkeadilan, dan berkelanjutan. Saatnya kita mendesak transparansi, menuntut percepatan, dan menjadikan pulau-pulau di timur Indonesia sebagai etalase dunia bahwa energi bersih itu bukan cuma mimpi, tapi kenyataan yang bisa kita wujudkan bersama. Ayo take action, sebelum bumi kita mencapai batas limitnya!
Post a Comment