"Pistol dan Parang di Mimika: Kisah Horor Jurnalis Diburu Polisi Tengah Malam
Nyaur.com | Jakarta — Malam itu, dinginnya udara Papua Tengah terasa menusuk tulang, tapi ketegangan yang menyelimuti kantor redaksi Papuanewsonline.com jauh lebih mencekam. Itu bukan scene dari film action atau drama Korea thriller, tapi realitas pahit yang harus dihadapi empat jurnalis muda di Mimika. Bayangkan, saat seharusnya laptop mereka menyala terang demi mengejar deadline dan menyajikan fakta, nyawa mereka justru terancam. Pukul 19.30 WIT, Jumat 3 Oktober 2025, yang seharusnya menjadi jam sibuk, berubah menjadi awal dari "malam panjang" yang brutal.
Suasana di Markas Polres Mimika hari itu tidak seperti tempat perlindungan hukum, melainkan arena intimidasi. Di balik pintu-pintu besi dan lampu remang-remang, drama penyalahgunaan wewenang sedang dipentaskan. Kebebasan pers, pilar yang sering kita dengar di kelas kewarganegaraan, seperti sedang diinjak-injak dengan sepatu lars. Empat jurnalis, Ifo Rahabav, Zidan, dan Abimanyu (serta satu rekan lain), yang kerjanya hanya menyuarakan kebenaran, tiba-tiba menjadi target persekusi.
Semua berawal dari sebuah surat pemanggilan. Ifo Rahabav, penanggung jawab Papuanewsonline.com dipanggil oleh Polres Mimika guna memberikan keterangan terkait Laporan Polisi (LP) dugaan pencemaran nama baik di Polres Mimika, Jumat malam. Laporan itu sendiri dipicu oleh berita yang mereka terbitkan pada 18 Juli 2025, berjudul "Diduga Kadistrik Jita Merasa Super Karena ada Irwada Polda Papua Kombes Jeremias Rontini." Sebuah berita yang bagi pihak pelapor, terasa menyinggung, namun bagi publik adalah bagian dari fungsi kontrol pers.
Namun, mekanisme hukum yang seharusnya menjembatani sengketa pers malah berbelok tajam menjadi teror. Saat Ifo menjalani pemeriksaan, Kasat Reskrim Polres Mimika, AKP Rian Oktaria, muncul. Ia datang dengan amarah yang meledak-ledak. Di hadapan Zidan dan Abimanyu yang menunggu di luar, sebuah kalimat ancaman meluncur. "Ini malam panjang, lama-lama sa tembak kepala," ujarnya lugas. Secara harfiah, ancaman tembak kepala! Siapa yang tidak gemetar mendengarnya?
Ketegangan tidak berhenti di ruangan pemeriksaan. Setelah selesai, Ifo mencoba mengonfirmasi ancaman tersebut kepada Kasat Reskrim via WhatsApp. Bukannya mendapat klarifikasi, Ifo malah dihubungi balik via telepon. Teror online berubah menjadi tantangan offline yang brutal.
"Anjing kamu di mana, mari kita duel satu lawan satu ayo, kita dua sendiri saja setan, kamu di mana," hardik AKP Rian Oktaria, memenuhi headset Ifo dengan makian.
Puncaknya terjadi sekitar tengah malam. Saat Ifo dan tiga rekannya berada di kantor redaksi, belasan anggota polisi, yang dipimpin langsung oleh sang Kasat Reskrim, mendatangi mereka. Seluruh ponsel disita—memutus jalur komunikasi dan bukti—dan keempat jurnalis itu dipaksa masuk ke mobil berbeda.
Setibanya kembali di halaman Mapolres Mimika sekitar pukul 00:00 WIT, suasana berubah total. Ini adalah momen yang paling gelap. Keempat jurnalis ini menghadapi intimidasi fisik dan psikis selama berjam-jam, hingga menjelang subuh.
"Saya ini orang Mabes, saya ini asli dari kesatuan, kalian mau liat saya punya psikopat muncul, ya?" tantang AKP Rian. Ia bahkan mengancam menggunakan senjata tajam: "Ada parang dan pisau di mobil saya, kalau kalian tidak mau duel ya kita baku potong." Dua jurnalis muda, Abimanyu dan Zidan, bahkan sempat ditarik ke tengah lapangan, dipaksa berkelahi. Mereka dihujani makian seperti "anjing" berulang kali.
Lelah, tertekan, dan terancam nyawanya setelah diintimidasi selama berjam-jam, sekitar pukul 05.00 WIT, para jurnalis dipaksa melakukan hal terakhir yang mencederai profesi mereka: membuat dan menandatangani surat pernyataan di atas meterai.
Isi surat itu adalah "permintaan maaf" dan janji untuk menghapus berita berjudul "Bakar Lilin di Mabes Polri, GMPKK Minta Kapolri Copot Kapolres dan Kasat Reskrim Polres Mimika" serta tidak lagi mempublikasikan berita negatif tentang Kapolres dan Kasat Reskrim Mimika.
Ini adalah strategi klasik untuk membungkam kritik. Alih-alih menempuh jalur hukum yang benar—seperti hak jawab atau mengadu ke Dewan Pers, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers—mereka memilih jalur teror. Tindakan ini jelas melanggar Pasal 18 ayat (1) UU Pers, yang melarang siapa pun menghalang-halangi kerja jurnalistik dengan ancaman pidana 2 tahun penjara atau denda Rp 500 juta.
Peristiwa ini tentu memantik reaksi keras dari Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), aliansi yang terdiri dari 11 organisasi pers dan masyarakat sipil, termasuk AJI, LBH Pers, dan SAFEnet. KKJ menegaskan: kekerasan terhadap jurnalis adalah teror terhadap kebebasan berekspresi dan hak publik atas informasi.
KKJ mendesak Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo dan Kapolda Papua Tengah untuk turun tangan. Mereka menuntut pengusutan tuntas secara transparan, penindakan tegas secara pidana dan etik terhadap AKP Rian Oktaria dan anggotanya, serta pencopotan sang Kasat Reskrim dari jabatannya. Perilaku yang dipertontonkan itu dinilai tidak profesional, mengancam keselamatan warga sipil, dan mencoreng nama baik institusi Polri yang seharusnya mengayomi.
Ketika jurnalis dibungkam dengan ancaman pistol dan parang, yang mati adalah nalar kritis publik. Kita harus memastikan impunitas terhadap pelaku kekerasan terhadap jurnalis diakhiri. Jika ada sengketa berita, gunakanlah mekanisme yang diatur oleh UU Pers, bukan arogansi.
KKJ meminta LPSK untuk proaktif memberikan perlindungan fisik dan psikologis kepada para korban. Sebab, ancaman yang sudah dilontarkan sangat serius. Kita tidak boleh membiarkan empat anak muda pemberani ini berjuang sendirian. Masa depan informasi yang bebas dan berimbang ada di tangan kita, dan mengawal kasus ini adalah salah satu cara kita berdemokrasi.
Post a Comment