Benarkah TNI Balik Kanan ke "Multi-Fungsi" dan Tinggalkan Barisan Pertahanan?
Nyaur.com | Jakarta – Pernah dengar soal Reformasi 1998? Itu momen epik yang mengubah Indonesia dari rezim otoriter jadi negara yang katanya lebih demokratis. Salah satu janji besar Reformasi adalah menanggalkan jubah politik militer, yang dulu dikenal sebagai Dwifungsi ABRI. TNI harusnya back to basic, fokus menjaga kedaulatan negara, bukan sibuk urusan sipil, apalagi bisnis. Sesuai amanat UUD 1945, TNI adalah alat pertahanan negara, titik!
Namun, plot twist-nya datang 27 tahun setelah Reformasi digulirkan. Tepat di usia TNI yang ke-80, ada aroma dejavu yang menyesakkan. Gerak-gerik militer belakangan ini, terutama sejak tampuk kepemimpinan beralih, memunculkan pertanyaan kritis: Apakah kita sedang menyaksikan kembalinya militer ke ranah sipil? Bukan lagi dwifungsi, tapi kini muncul istilah "multi-fungsi." Yang paling nyesek, semua ini terjadi nyaris tanpa perlawanan publik.
Coba kita bedah, kenapa isu ini penting buat kita, generasi yang selalu haus akan transparansi dan demokrasi sejati? Siapa yang bersuara? YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) adalah pihak yang terang-terangan menyoroti fenomena ini. Mereka melihat adanya pengkhianatan terhadap mandat demokratisasi.
Apa yang terjadi? Ada upaya masif melibatkan kembali TNI, khususnya TNI-AD, masuk lebih dalam ke urusan politik, pemerintahan, dan bahkan bisnis. Ini bukan lagi sekadar bantu-bantu bencana alam, guys. Ini sudah masuk ke jantung ekonomi dan kebijakan sipil.
Kapan tren ini semakin kencang? Fenomena ini mencuat jelas sejak pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Pergerakannya ngebut dan terang-terangan.
Di mana dampaknya terasa? Hampir di semua lini, mulai dari legislasi (revisi UU TNI), struktur organisasi (penambahan Komando Daerah Militer/Kodam dan unit teritorial), hingga implementasi program pemerintah (seperti Makan Bergizi Gratis/MBG, Food Estate, dan Satgas).
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Semua berawal dari argumen "sekuritisasi" pangan, energi, dan sumber daya alam. Pemerintah dan TNI berdalih bahwa isu-isu ini adalah ancaman keamanan nasional, sehingga peran militer diperlukan di dalamnya. Logika ini yang menjadi pintu masuk TNI ke ranah sipil dan, yang lebih mengkhawatirkan, membuka potensi bisnis bagi anggotanya.
Satu hal yang paling mencolok dan mengusik nalar adalah perluasan organisasi TNI-AD secara masif. Mereka kini berencana membentuk:
1. Batalyon Teritorial Pembangunan (BTP): Targetnya 100 BTP pada 2025, dan akan terus ditambah hingga menyamai jumlah kabupaten/kota di Indonesia pada 2029. Setiap Batalyon ini akan memiliki unit-unit pertanian, peternakan, perikanan, dan kesehatan. Bayangkan, militer yang harusnya latihan perang, kini ikut nyangkul dan ternak dalam skala besar.
2. Kompi Produksi di tingkat Kodim: Unit ini juga fokus pada pertanian dan produksi.
Efek domino dari penambahan ini gak main-main:
a. Beban Fiskal: Penambahan personil hingga ratusan ribu (diperkirakan mencapai 360 ribu personel AD tambahan hingga 2029, belum termasuk Komponen Cadangan) akan menyedot anggaran negara dalam jumlah kolosal.
b. Implikasi Sipil-Militer: Kehadiran BTP di setiap kabupaten/kota, ditambah Komponen Cadangan di bawah komando Kodim, akan mengubah peta kekuatan di daerah. Ini bisa memperkuat kontrol militer atas masyarakat sipil.
Pikirkan ini: Ketika Kodim dan Batalyon punya unit pertanian dan peternakan skala besar, bagaimana nasib petani kecil dan pedagang lokal? Apakah mereka sanggup bersaing dengan "skala ekonomi" ala militer? Siapa yang akan diprioritaskan saat terjadi konflik sumber daya seperti air atau pupuk? Inilah dilema ekonomi pangan yang terancam dirusak oleh militerisasi sektor tersebut.
Keterlibatan TNI dalam implementasi program-program pemerintahan Prabowo Subianto menyeret mereka lebih jauh ke urusan politik, pemerintahan, dan bisnis. Ini beberapa highlight-nya:
1. Makan Bergizi Gratis (MBG): TNI menyiapkan Kodim, Lantamal, dan Lanud, bahkan mengoperasikan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Ini seperti menggeser tugas kementerian sipil ke tangan militer.
2. Food Estate dan Satgas Swasembada Pangan: TNI terlibat aktif, bahkan sampai pengerahan prajurit untuk pembukaan lahan. Keterlibatan ini enggak cuma menjauhkan TNI dari fungsi pertahanan, tapi juga berpotensi menyeret mereka ke konflik agraria dengan masyarakat adat, bahkan bisa berujung pada dugaan pelanggaran HAM demi mengamankan kepentingan non-militer.
3. Babinsa jadi Makelar Gabah: Babinsa (Bintara Pembina Desa) dilibatkan dalam pembelian gabah untuk Bulog. Meskipun niatnya menjaga stabilitas harga, keterlibatan militer dalam sistem ekonomi beras lokal adalah hal yang harus dipertanyakan secara serius.
YLBHI juga menyoroti fenomena PT Agrinas Palma Nusantara, sebuah BUMN yang baru dibentuk dan kini mengelola kebun sawit yang disita oleh Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH). Yang menarik, perusahaan ini dikelola oleh para purnawirawan militer, dan cikal bakalnya adalah perusahaan bentukan Yayasan Kemenhan di era Prabowo menjabat Menhan.
Ditambah lagi, susunan kabinet Merah Putih diisi oleh 11 politisi berlatar belakang militer. Kontrol berlebih faksi militer di lingkaran eksekutif ini disebut sebagai konsekuensi yang memungkinkan militer mengambil alih ruang-ruang sipil dengan mudah.
Semua fakta ini seolah menjadi narasi yang utuh: Indonesia sedang berjalan mundur dari cita-cita Reformasi.
Inilah kesimpulannya: TNI sudah melangkah memasuki era "multi-fungsi" yang jauh dari amanat UUD 1945.
Kenapa ini harus kita koreksi? Karena jika militer terlalu sibuk dengan urusan sipil—pertanian, bisnis, bahkan pendidikan (seperti MOU di Jawa Barat yang melibatkan TNI mendidik anak nakal di barak)—mereka akan lupa dengan tugas utamanya: menjaga pertahanan dan kedaulatan negara.
Yang paling mengerikan, semua proses ini berjalan diam-diam. Tidak ada diskusi publik, tidak ada keputusan politik yang demokratis mengenai perubahan postur pertahanan negara sebesar ini. DPR RI, sebagai representasi rakyat, terkesan tutup mata.
Berkenaan dengan situasi di atas, YLBHI mendesak kepada:
1. Presiden Prabowo Subianto dan jajaran kabinetnya untuk secara terbuka memberikan informasi yang sejelas-jelasnya tentang perkembangan organisasi TNI seperti penambahan 22 Kodam, pembentukan 100 Batalyon Teritorial Pembangunan (BTP), pembentukan Kompi-kompi Produksi, pembentukan Kodim di setiap kabupaten/kota, pembentukan 2 batalyon Komcad di setiap Kodim. Semua ini akan memiliki implikasi yang sangat serius terhadap hubungan sipil-militer di Indonesia dan masa depan demokrasi di Indonesia. Selain itu, semua ini akan berimbas pada kesehatan keuangan negara.
2. Presiden Prabowo Subianto dan anggota-anggota kabinetnya serta semua organ-organ pemerintahan sipil lainnya supaya meninjau kembali semua MoU atau Nota Kesepahaman antara lembaga-lembaga mereka dengan TNI. Dengan menarik TNI ke ranah sipil, para politisi sipil sesungguhnya melemahkan demokrasi yang telah memilih mereka menjadi pemimpin. Juga telah merusak profesionalisme para prajurit TNI.
3. Presiden Prabowo harus menghentikan keterlibatan TNI dalam urusan pangan, urusan Makan Bergizi Gratis, serta urusan Koperasi Merah Putih. Semua keterlibatan TNI ini, yang tidak ada dalam wilayah keahliannya, hanya akan merusak lembaga-lembaga sipil tersebut. Terlebih lagi akan merusak profesionalisme para prajurit dan perwira TNI.
4. Kami meminta kepada DPR RI, DPD maupun DPRD untuk melakukan pengawasan dan mempertanyakan pelibatan TNI secara besar-besaran di ranah-ranah sipil ini. Pelibatan TNI di dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) namun mengesampingkan birokrasi lokal, sekolah, guru, dan orang tua murid, tidak saja salah kaprah namun juga tidak demokratis. Program dengan biaya yang sangat besar ini tidak akan jalan dengan sentralisasi kekuasaan dan pengerahan kekuatan militer.
5. Kepada elemen masyarakat sipil untuk terus mengingatkan pemerintah dengan melakukan pengawasan maupun upaya advokasi yang diperlukan untuk menghentikan upaya ilegal pemerintah untuk mengembalikan praktik dwifungsi ABRI yang mengkhianati mandat reformasi;
6. Presiden dan DPR RI untuk melakukan revisi terhadap UU Peradilan Militer untuk memastikan penegakan hukum yang adil dan imparsial di lingkungan peradilan militer yang selama ini menjadi ruang impunitas bagi para prajurit militer yang melanggar hukum dan HAM juga praktik KKN;
7. Presiden dan DPR RI untuk membatalkan pembangunan Kodam baru serta bubarkan komando teritorial yang tidak sesuai dengan fungsi TNI sebagai alat pertahanan negara.
Jika ini dibiarkan, kita bukan hanya kehilangan uang negara, tapi juga perlahan-lahan kehilangan demokrasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah. Jangan biarkan plot twist ini menjadi akhir cerita yang pahit bagi masa depan Indonesia. Ayo, kita kawal bersama!
Post a Comment