Misi Bupati Lampung Barat Menjemput Sinyal

Misi Bupati Lampung Barat Menjemput Sinyal

Nyaur.com | Lampung Barat
Siapa di antara kita, anak muda yang melek teknologi, yang bisa membayangkan satu hari tanpa scroll TikTok, update story di Instagram, atau bahkan sekadar cek email? Rasanya seperti hidup di zaman batu, bukan? Tapi, dengar ini: bagi sebagian anak di Indonesia, termasuk di Lampung Barat, realitas "tanpa sinyal" itu bukan fiksi, melainkan kenyataan pahit yang harus mereka hadapi setiap hari.


Ingat kembali masa kelam akhir 2019, ketika dunia dihantam gelombang kejut bernama covid-19? Virus itu bukan hanya merenggut kesehatan dan ekonomi, tapi juga mengubah total cara kita belajar. Tiba-tiba, sekolah pindah ke layar smartphone atau laptop. Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), sebuah terminologi yang dulunya asing, menjadi rutinitas wajib. Sebuah surat edaran dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Nomor: 36962/MPK.A/HK/2020) memaksa semua lembaga, dari SD hingga kuliah, untuk beradaptasi. Inilah momen krusial ketika jaringan internet naik tahta menjadi kebutuhan primer, sama pentingnya dengan buku dan seragam.


Namun, di tengah euforia digitalisasi pendidikan, tersingkaplah jurang ketimpangan yang begitu lebar. Jika kamu, Milenial dan Gen Z kota, mengeluh lagging saat main game online atau buffering saat streaming, bayangkan kondisi anak-anak yang sama sekali tidak punya sinyal. Mereka adalah Rama dan kawan-kawan.


Rama, saat itu masih pelajar SMP dari Pemangku Kubu Perahu, Pekon Kubu Perahu, Kecamatan Balik Bukit, Lampung Barat, adalah potret nyata perjuangan. Suara bising motor pabrikan Jepang yang memecah kesunyian perbukitan, tas punggung yang berisi buku dan ponsel, serta matanya yang fokus mencari satu hal: bar sinyal. Setiap pagi, atau bahkan malam, ia harus menempuh perjalanan sekitar 7 kilometer. Tujuh kilometer, hanya untuk bisa log in ke kelas online. Tempat tinggalnya masih dalam kondisi blankspot akut.


Keadaan ini bukan hanya masalah Rama. Kisah koneksi terputus ini merembet ke seluruh aspek kehidupan di Pekon Kubu Perahu. Para pelaku UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) setempat kesulitan menjangkau pasar yang lebih luas karena tak ada akses promosi online. Petani, tulang punggung ekonomi desa, sering menjual hasil panennya dengan harga di bawah standar pasar karena tidak bisa mengecek harga komoditas terkini secara real-time. Mereka semua terputus dari informasi, terisolasi dari ekonomi digital yang sedang booming di luar sana.


Misi Bupati Lampung Barat Menjemput Sinyal

Kisah pilu ini akhirnya sampai ke telinga pimpinan daerah. Melihat ratusan warganya masih terjerat dalam isolasi digital, Bupati Lampung Barat, Parosil Mabsus, tidak tinggal diam. Ia menyadari, di era ini, pemerataan akses digital adalah kunci keadilan pembangunan. Bukan lagi sekadar proyek, tapi sebuah strategi kemanusiaan.


Pada Senin, 13 Oktober 2025 (momen yang kini sudah terlewati), Bupati Parosil Mabsus memimpin langsung delegasi Pemerintah Kabupaten Lampung Barat untuk terbang ke Jakarta. Tujuannya satu: beraudiensi dengan Kementerian Komunikasi dan Digital Republik Indonesia (Komdigi RI).


Apa yang mereka lakukan? Pemerintah Kabupaten Lampung Barat mengajukan permohonan pembangunan infrastruktur Base Transceiver Station (BTS) di wilayah-wilayah blankspot. Mengapa? Untuk mempercepat pemerataan akses komunikasi dan informasi, khususnya di desa-desa terpencil.


Audiensi strategis ini menjadi harapan besar bagi 102 desa di Lampung Barat yang hingga kini masih 'mati suri' dari sisi konektivitas. Bayangkan, dari total 136 wilayah (131 pekon dan 5 kelurahan), baru 29 desa yang sudah tersentuh program internet pemerintah pusat. Angka ini menunjukkan pekerjaan rumah yang sangat besar.


Ditemui oleh Staf Khusus Menteri Komdigi Bidang Komunikasi dan Politik, Arnanto Nurprabowo, bersama jajaran teknis lainnya, Bupati Parosil memaparkan situasinya dengan lugas. "Kondisi ini menyebabkan masyarakat tidak mengetahui harga pasar komoditas, kesulitan memasarkan produk, bahkan sering menjual dengan harga di bawah pasar karena tidak memiliki akses informasi," tegas Bupati.


Untuk mengatasi jurang digital ini, Pemkab Lampung Barat mengajukan pembangunan menara BTS di lima titik prioritas untuk tahun anggaran 2026:

 1. Pekon Lombok, Kecamatan Lumbok Seminung.

 2. Pekon Kubu Perahu, Kecamatan Balik Bukit (tempat tinggal Rama).

 3. Pekon Batu Api, Kecamatan Pagar Dewa.

 4. Pekon Tribudisukur, Kecamatan Kebun Tebu.

 5. Pekon Banding Agung, Kecamatan Suoh.


Kelima lokasi ini dipilih karena secara geografis berada di daerah perbukitan yang sulit dijangkau sinyal. Diharapkan, satu menara BTS di lokasi ini dapat memancarkan sinyal ke desa-desa sekitarnya, menciptakan efek domino konektivitas.


Misi Bupati Lampung Barat Menjemput Sinyal

Bupati Parosil Mabsus menegaskan bahwa pembangunan ini bukan semata-mata soal tiang dan kabel, melainkan fondasi untuk masa depan daerah. "Kita ingin pembangunan tidak hanya bertumpu pada fisik semata, tapi juga harus didukung oleh digitalisasi. Masyarakat di desa-desa yang terpencil pun berhak mendapat akses dan peluang yang sama dalam ekonomi digital, pendidikan, hingga mitigasi bencana," ujarnya, memantik sisi emosional tentang keadilan sosial.


Sebagai Kabupaten Literasi, Konservasi, dan Tangguh Bencana, Lampung Barat memiliki potensi wisata alam yang luar biasa dan kekuatan sektor pertanian. Namun, semua potensi itu akan sia-sia tanpa dukungan teknologi.


Maka, audiensi ini tidak hanya berisi permohonan BTS. Pemkab Lampung Barat juga mengajukan tiga pilar penting:

 1. Penyelarasan Program: Sinkronisasi program TIK daerah dengan kebijakan digital nasional.

 2. Bantuan Infrastruktur: Permintaan pembangunan BTS, jaringan internet desa, hingga akses satelit.

 3. Dukungan SDM: Permintaan pelatihan literasi digital, keamanan siber, dan pengembangan SDM digital bagi masyarakat dan pemerintah.


Melalui langkah proaktif ini, Pemerintah Kabupaten Lampung Barat mengirimkan pesan kuat: pemerataan akses komunikasi dan informasi adalah strategi utama untuk mewujudkan keadilan. Ini adalah misi menjemput sinyal agar anak-anak seperti Rama tidak perlu lagi menempuh 7 kilometer demi sebuah koneksi, dan agar para petani serta pelaku UMKM dapat bersaing di panggung digital nasional. Koneksi bukan hanya sinyal, tapi peluang dan harapan untuk masa depan.

Tidak ada komentar